Empat...

8 2 0
                                        

Aku Priska. Kubuka jendela kamar. Kudengar fajar masih bercerita tentang bulan yang pemalu dan seolah menjauh dari mentari. Akankah realita selalu jauh dari asa?

Tiga bulan berlalu sejak kejadian sore di Parangtritis. Aku begitu bahagia menikmati perasaan dan kebersamaan dengan Edi, meski terkadang aku merisaukan hubungan tanpa status yang kami jalani. Bukankah usia kami sudah cukup untuk menikah? Mengapa Edi bahkan tidak menegaskan status mereka saat ini? Atau Edi sengaja menunggu kuliahku selesai?

Seharian ini kantor sepi. Indra tidak masuk karena sedang banyak urusan di kampus. Aku bekerja seperti biasa, hanya saja lebih sering melamun. Sebelum pulang, aku membalas whatsapp dari Edi untuk kesekian kalinya.

Sampai di rumah, nenek ternyata sedang menghadiri acara di masjid. Kuambil handuk Hello Kitty ku dan bergegas masuk kamar mandi. Kudengar Love Story mengalun merdu dari handphone ku. Kulirik sekilas LCD handphone dan kudapati unknown number menghubungiku. Penasaran. Kuangkat dan kudengar suara wanita menyapa.

"Halo, mbak. Saya mau nanya, mbak kenal sama Edi?" ucap suara di seberang. Datar. Aku bingung dan panik. Wanita ini menanyakan Edi? Apakah Edi mengalami kecelakaan atau hal lain? Kutepis pikiran burukku dengan mencoba tenang. Suara di ujung telepon masih berhalo-halo.

"Maaf mbak, maksudnya Edi siapa yaa?" ucapku setelah berhasil menguasai diri.

"Edi Wisnu Prasetyo. Edi yang kerja di SMA Kuntum. Mbak kenal kan?" suara itu terdengar dingin sekarang. Aku menelan ludah dan kebingunganku sekaligus.

"Oh iya mbak, kalau yang mbak maksud Mas Edi saya kenal. Ada apa yaa mbak?" tanyaku berhati-hati. Lama kami terdiam. Aku tidak mendengar jawaban. Hanya sedikit suara tangis tertahan.

"Saya boleh minta tolong? Jauhi Edi. Saya yakin kamu gadis baik-baik. Mengertilah" kata yang tak terduga meluncur begitu saja dari wanita di ujung telepon. Aku mulai mengerti dan dapat menduga arah pembicaraan ini.

Hanya saja aku merasa harus bertanya "Maksud mbak apa ya?" Aku memberi ruang untuk pikiran kami agar dapat berpikir jernih.

"Gak usah pura-pura. Tadi siang saya baca semua whatsapp kalian. Sampai sore tadi, saya yang balas whatsapp yang kamu kirim ke nomor Edi" ujar wanita di seberang. Aku tidak habis pikir tentang ini semua. Aku masih belum sepenuhnya mengerti. Kugigit bibirku, memikirkan kemungkinan terburuk.

"Saya istrinya. Kami udah menikah dari setahun yang lalu. Saya emang belum bisa ngasih buah hati untuk Edi. Tapi saya gak pernah rela dimadu. Kamu pasti ngerti perasaanku, kan? Hargai ini dan jangan jadi wanita murahan dengan ganggu suami orang" suara wanita itu kini bagai petir yang menyambar telingaku. Bagaimana aku dapat percaya pada perasaan lagi setelah ini? Pandanganku mulai kabur dan bertambah seiring setiap penjelasan yang keluar dari wanita di seberang telepon. Sampai tak sadar suara wanita itu sudah tak terdengar lagi.

Aku merasa begitu sakit. Belum pernah sesakit ini. Oh God. Bukankah seharusnya kisah ini berakhir bahagia? Aku sakit memikirkan perasaan sakit hati yang sama dialami juga oleh wanita itu, atau bahkan lebih. Akulah yang menjadi penyebab rasa sakitnya. Salahkah aku? Potongan-potongan kisah indahku dengan Edi berputar seperti film hitam putih dalam benakku. Salahkah Edi? Ketika aku baru saja bisa mencintai pria begitu dalam, mengapa sakit kembali yang kurasakan? Salahkah perasaan ini?

***

Malam-malam selanjutnya, aku ditemani air mata. Tidak ada lagi telepon dari Edi. Entah mengapa aku masih berharap bahwa ini semua tidak nyata. Kebencianku padanya ternyata tak mampu mengubur rasa cintaku. Edi sudah masuk terlalu dalam di hatiku. Meski kutahu rasa ini salah. Sungguh egois jika aku tetap ingin memilikinya. Tapi bagaimana lagi? Menghapus semua kenangan hanya mungkin jika aku kehilangan ingatanku.

Edi seolah menghilang. Ia bahkan tidak pernah terlihat di kantor. Tentu saja aku juga tidak berusaha mencarinya.

***

Adakah (Rasa) yang Salah?Where stories live. Discover now