Lima...

6 2 0
                                        

Ia adalah hujan. Mungkin ia tak mengerti arti kesendirian, namun dari rintiknya aku merasakan getar tegar yang nanar. Tentang betapa ia tetap turun meski banyak hati tak sudi, walau banyak bibir mencibir, tanpa mengingkari bahwa mentari lebih dinanti. Ia tetap turun, memberi kehidupan bukan hanya pada mereka yang maklum. Ia membuatku mengerti bahwa kisah ini bukan tentang siapa yang memulai, namun siapa yang berjuang untuk tidak mengakhiri.

Tiga bulan kemudian...

"Aku udah coba ngingetin kamu, Pris. Aku emang gak pernah bilang langsung kalo Edi udah punya istri. Aku gak tega ngasih tau kamu. Kamu keliatannya bahagia banget. Aku selalu bilang ke Edi supaya secepetnya ngejelaskin situasi ini ke kamu. Aku bahkan gak pernah mikir kalo kisah kalian bisa serumit ini. Aku beneran nyesel. Harusnya aku kasih tau kamu dari awal" tutur Indra saat aku mengajukan surat pengunduran diri dengan mata sembab. Baru kali ini aku merasa bahwa Indra ternyata begitu memerhatikan dan peduli padaku.

"Udahlah, Mas. Gak ada yang perlu disalahin dari sebuah perasaan. Cuma waktu dan tempat yang gak sesuai, I'll be fine." ucapku, mencoba tabah meski hatiku bergejolak. Aku tidak ingin dikasihani. Indra menerawang, seperti sedang berpikir.

"Kamu gak perlu sampai ngundurin diri, Pris. Aku butuh kamu." ujarnya setelah lama terdiam. Aku mencoba mencerna kalimat Indra barusan.

"Kamu bisa cari karyawan baru, Mas. Kamu atasan yang baik. Aku belajar banyak dari kamu." ucapku.

"No. Aku butuh kamu buat pelengkap hati dan hariku, I mean. Aku jatuh cinta sama kamu dalam kebersamaan kita. Selama ini aku gak pernah berani bilang karena tau perasaanmu ke Edi. Aku tulus, Pris." Indra lekat menatap mataku sambil mengatakannya. Hatiku dapat menangkap gelombang cintanya, namun tidak mengeluarkan getaran dengan frekuensi yang sama.

"Terima kasih udah mau nunggu aku setahun ini, Mas. Aku tersanjung. Tapi maaf, perasaanku gak bisa bohong. Sekarang aku cuma gak mau nyakitin kamu dengan berpura-pura kalo semuanya baik-baik aja. Kamu tau perasaanku ke Mas Edi? Aku sungguh mencintainya. Sampai detik ini. Entah besok atau lusa." ujarku. Aku melihat kening Indra berkerut. Mungkin aku menyakitinya dengan perasaan kami yang rumit.

"Aku hargai keputusanmu, Pris. Apapun itu, aku dukung. Aku akan selalu ada disini saat kamu lelah dan butuh tempat untuk bersandar. I'll be there for you." ucapnya. "Aku yakin kamu bisa sembuhin lukamu tanpa membenci siapapun. Kamu wanita kuat. Edi pernah kesini waktu kamu ijin gak masuk karena sakit. Kami sempat bertengkar. Tapi urung karena aku tau kalo dia betul-betul menyimpan rasa yang sama buatmu. Dia titip ini." Sambung Indra sambil memindahkan amplop merah muda ke tanganku. Kubuka di tempat dan kubaca.

Dear Priska...

Aku harap kamu sudi memaafkanku. Seharusnya aku jujur dari awal bahwa aku sudah beristri. Aku memang mencintaimu tapi aku tidak bisa memberikanmu apa-apa. Aku juga mencintainya, istriku Sinta. Kalian berdua adalah wanita teristimewa di hatiku, memiliki porsinya masing-masing dalam melengkapi hatiku. Jujur, aku tak pernah menyangka dapat mencintai dua wanita sekaligus. Tapi kamu hadir merubah segalanya. Mengoyahkan pertahanan kasihku yang semula hanya untuk Sinta. Kamu sosok idamanku, sementara ia sudah begitu lama singgah dan menenangkan hatiku. Meski tak bisa jadi pemenang seutuhnya, karena kalian berdua berdiri di puncak yang sama dalam hatiku.

Seperti yang pernah kamu katakan bahwa perasaan terlalu tinggi untuk dinilai hanya dari kacamata status. Perasaan kita datangnya dari Tuhan, maka kembalikanlah pada-Nya. Tidak ada yang salah dalam perasaan ini. Dia memiliki rencana ketika mempertemukan kita dan menanamkan rasa ini dalam hati kita. Jadi kuharap, jangan salahkan dirimu atas perasaan ini.

Kamu tahu bahwa jarak, ruang, dan waktu adalah elemen yang mampu mengubah segalanya, tentu atas kehendak Nya. Aku pun ingin menyayangi kalian tanpa membuat salah satu diantara kalian terluka. Tapi lihatlah kenyataan bahwa peluang itu hampir mendekati 0%, sebab dengan berhenti menyakitinya itu berarti aku mulai menyakitimu, dan begitupun sebaliknya. Aku lelah berdiri melawan arus air, bagaimanapun hanya akan ada tiga kemungkinan. Pertama, jika aku cukup kuat maka aku mampu menghentikan arus itu, meski ini berarti tidak ada lagi air yang mengalir di belakang punggungku. Kedua, mungkin secara tidak langsung aku membuat arus itu terbagi, mengalir di sisi kanan dan kiriku berdampingan meski aku takkan pernah tahu dimana mereka berujung. Atau terakhir, aku sendirilah yang akan hanyut terbawa arus itu. Ah, aku yakin kamu cukup cerdas untuk mengaitkan filosofi itu dengan keadaan kita saat ini.

Aku akan pindah ke Magelang, meninggalkan pekerjaan dan bisnisku di Yogyakarta. Semoga ini yang terbaik untuk kita semua ya? Bagaimanapun kamu adalah wanita hebat yang berprinsip kuat. Beruntung kelak pria yang menjadi suamimu.

Salam,

Edi

Hatiku bergetar hebat ketika membacanya. Bagaimanapun, aku tidak ingin membuka celah bagi hatiku untuk mengatasnamakan cinta dan memperjuangkan rasa yang tidak berlogika. Aku tidak mau semakin egois. Kusobek kertas itu sambil menahan air mata yang jatuh. Sementara di luar hujan turun. Lagi. Hujan menjadi saksi dari ketidakberdayaanku menghadapi kenyataan.

"Pris. Kamu percaya kalo pria baik gak akan menyia-nyiakan wanitanya, kan?" Indra bertanya retoris. Aku mengangguk.

"Untuk saat ini, biarin aku menikmati rasa sakitku, Mas. Engga akan berkurang emang, tapi aku menikmatinya. Entah sampai kapan" ucapku.

"Aku akan bersabar buat kamu Pris. Untuk waktu yang gak ditentukan" Indra berkata sambil tersenyum. Kini aku melihat Indra secara utuh dari sudut pandang yang berbeda sejak awal pertemuan kami. Bukan Indra yang perfeksionis, tetapi Indra yang memastikan segala sesuatu tentangku berjalan sebagaimana seharusnya. Bukan Indra yang sibuk memerhatikan hal kecil tetapi Indra yang berusaha mengingat detail tentang diriku.

Sepertinya, semua akan baik-baik saja. Bukankah perasaan tidak pernah salah?

***

Adakah (Rasa) yang Salah?Where stories live. Discover now