Hujan deras mengguyur kota London. Menyisakan kubangan air di sepanjang jalan yang terus terinjak oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang. Membuat seluk beluk kota London menjadi semakin semerawut. Allysa tidak bergerak dari tempat dia berdiri, membiarkan tubuhnya dibasahi air hujan. Tetesan air mengucur dari dahi hingga menetes turun didagunya. Sesekali ia mengusap wajahnya dan kembali terpaku dengan objek yang ada dihadapannya, Bigben.
"Danise..." gumamnya pelan seraya menutup kedua matanya dan membiarkan air matanya berbaur dengan hujan
"kau tidak seharusnya kembali kesini"
Allysa memutar tubuhnya dan merasakan hangat ketika melihat Liam ada dibelakangnya. Tidak melakukan apa-apa, hanya tersenyum.
"setidaknya kau harus datang bersamaku" lanjut Liam
ALLYSA's POV
Liam melebarkan payung hitamnya untukku. Menarikku dalam genggam tangannya dan kami berjalan menyusuri jalan ke apartemen kami. Aku tidak mengatakan sepatah kata apapun padanya karena tidak tau apa yang harus aku katakan. Perasaanku hanya begitu kacau saat ini. Selalu seperti ini setiap saat aku teringat oleh Danise, kakakku.
Danise. Aku masih bisa mendengar tawanya ketika aku melalukan hal bodoh didepannya, aku masih bisa ingat bagaimana cara dia tersenyum padaku, aku masih ingat betul semua hal tentang dirinya. Danise adalah keluargaku satu-satunya pada saat itu. Sampai akhirnya dia juga memilih untuk pergi dan membiarkan aku sendirian. Aku bukan benar-benar yatim piatu, karena setidaknya aku masih mengenal ayahku yang kini tinggal bersama istri barunya. Sedangkan ibuku telah pergi entah kemana meninggalkanku bersama ayah dan Danise pada saat itu.
"apakah kau ingin mandi? aku akan buatkan air hangat untukmu" Liam melipat kembali payungnya dan melepaskan boots hitamnya
"aku tidak merasa begitu baik saat ini" suaraku begitu pelan, hampir seperti berbisik.
"itulah gunanya air hangat"
Liam mencium keningku dan pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untukku mandi. Inilah alasan kenapa aku tidak pernah bisa lepas dari pria ini. Dia begitu manis dan perhatian. Selalu membuatku nyaman untuk berada didekatnya. Dia selalu melakukan hal yang aku inginkan walaupun terkadang aku tidak ingin mengatakannya.
Aku terdiam disofa dengan Liam yang masih belum kembali selama 10 menit. Sebetulnya acara TV tidak begitu membantu untuk menghilangkan sedihku saat ini. Namun hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membuat segalanya terasa membaik.
15 menit berlalu dan Liam masih sibuk berada didapur. Kurasa ia menyiapkan makanan untuk makan malam. Aku memilih untuk mengganti pakaian dan berniat bergabung dengan Liam didapur. Aku bangun dari sofa dengan handuk yang masih melekat dipundakku
"Liam kurasa aku tidak butuh mandi. Aku akan berganti pakaian dan membantumu disana" sedikit berteriak untuk memastikan bahwa dia mendengarku
"apakah kau yakin? aku tidak ingin kau sakit nantinya" aku menarik pakaianku diatas kepalaku, melemparnya ke tumpukan pakaian kotor disudut ruangan.
"aku baik-baik saja Liam. berhenti bersikap khawatir"
Liam tidak menjawab dan hanya tertawa. Aku menarik pintu lemari pakaianku dan mencari beberapa baju untuk kupakai. ah sial! mengapa tidak ada satupun baju yang kupunya disini? Hanya ada beberapa dress formal yang tidak mungkin kupakai saat ini. Setelah kuingat kembali, aku baru menyadari bahwa aku belum mencuci pakaianku seminggu ini. Sepertinya aku harus meminjam beberapa baju Liam untuk kupakai.
"Liaammmm"
"what?"
"bolehkah aku meminjam bajumu?..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Palm Trees and The City
Fanfictionketika benci dan cinta hanya dipisahkan oleh ego