chapter 3

34 1 0
                                    

Kaki kecilku melangkah sealun musik indah yang berputar di kepalaku. Mengayunkan boneka usang ditanganku ke kanan dan ke kiri. Kadang aku terjatuh menyebabkan garis garis merah dilututku. Namun setelahnya aku kembali berlarian tanpa arah. Danise diseberang taman tersenyum dan melambaikan tangan kearahku. Aku hanya tertawa riang dan terus menari bodoh untuk membuatnya ikut tertawa atau hanya sekedar menarik perhatiannya.

Baru selangkah kakiku melangkah bermaksud untuk menghampiri Danise diseberang, semuanya berubah menjadi ruang kosong berwarna putih. Tak ada apapun. Bahkan aku tidak bisa melihat pada apa kakiku berpijak. Ini hanya, putih.

"danise..."

Aku ketakutan. Sangat ketakutan.

"boo!" Danise menepuk pundakku dari belakang. Justru berlari dariku

"aku mengambil bonekamu usangmu Ally!"

"Daniseeee!!! Kembalikan bonekakuuu" Danise berlari jauh didepanku

"aku akan membuangnya ke tempat sampah Ally!"

Langkah kakiku terhenti menyadari bahwa aku tidak akan bisa menggapainya dan merebut bonekaku kecuali dia yang mengembalikan. Aku tidak melakukan apa-apa,

Kecuali

Menangis

Danise masih berlari menjauh dariku sedangkan aku hanya menekuk kakiku dan menangis. Beberapa saat Danise baru menyadari jika aku tidak lagi mengejarnya. Dia menoleh dan berlari kearahku setelah mendapati adik cengengnya sedang menangis tersendu jauh dibelakangnya.

"hey. sudahlah aku hanya bergurau" Danise mengelus rambut coklat ikalku, menenggelamkanku dalam dekapnya yang hangat.

"Danise..."

"ya Ally?"

"jangan pergi"

Danise menghembuskan nafas dan hanya tersenyum

"tidak akan Ally... tidak akan..."

***
Tepat jam 1 pagi aku terbangun dari mimpiku. menyisakan beberapa peluh di dahiku. suasana hening menyelimuti ruangan, hanya hembus nafasku yang dapat kudengar.

mimpi itu lagi...

selalu datang disaat seperti ini.

"danise" gumamku pelan

bukan tanpa alasan mengapa aku menyayangi Danise melebihi apapun. Bahkan ayah dan ibu sekalipun. Danise adalah satu-satunya orang yang mendekapku ketika ayah dan ibu bertengkar ketika itu. Danise yang menggantikan sosok ibu dan ayah yang hilang dalam hidupku. Danise yang tidak pernah membuatku kecewa. Selalu mengajakku untuk pergi bersamanya kemanapun dia pergi. Danise adalah kakak tercantik yang pernah kumiliki. Danise yang selalu rela ditampar ayah ketika ayah mabuk dimalam hari. Danise tidak pernah ikut menangis bersamaku. tidak. Danise terlalu kuat untuk itu. Danise tidak pernah berbohong kepadaku, kecuali janjinya untuk tidak meninggalkanku.

"kau ingkar Danise..." memori tentang Danise membawa pilu dihatiku. seandainya dia masih disini.

"kau ingkar Danise..."

"kau sudah berjanji padaku"

"kau ingkar" aku terisak dalam perihku. mataku hangat ketika beberapa bulir air mata mendesak keluar

Beberapa saat aku menangis dalam keheningan ruangan. Tak ada yang menangkap tangisku kecuali suara angin yang berhembus.

"Ally?"

"Liam" aku masih terisak

"hey whats wrong?" aku tidak bergeming. membiarkan angin yang lolos dari jendela memainkan helai rambutku. membisu sesaat. bahkan Liam pun terdiam. Liam

menangkap tubuhku ketika aku memeluknya. Dia terdiam dan membiarkan aku menangis dalam pelukannya

"mimpi itu lagi?" aku hanya mengangguk kecil dalam tangisku. Dan Liam tidak berkata apapun. Selain memelukku. 

HARRY's POOF

"mom apakah kau yakin?" untuk kesekian kalinya aku meneriakan hal yang sama pada ibuku. sudah satu jam kami memperdebatkan hal ini. mendadak ibuku memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen. maksudku, seriously? bagaimana bisa dia memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen disaat kami memiliki rumah?

"common harry. its not a big deal! we just need to leave"

"tapi kenapa? ku fikir rumah ini sangat berharga bagimu" ibuku tidak bergeming. kedua tangannya mengangkat sebuah kardus berisikan barang-barang yang sudah dia pack kembali ketika aku pergi.

"mom... i know its hard for you, but its hard for me too."

matanya tak ingin bertemu denganku. aku tau dia tidak ingin menatapku karena pada akhirnya dia akan menangis

"okay whatever mom. whatever" aku merebut kardus usang yang ia pegang. menariknya dalam raihan lenganku dan memasukannya kedalam mobil. maninggalkannya terpaku sendirian diruang tengah. ketika aku kembali, dia masih disana.

"harry im sorry..." suaranya gemetar. kurasa. dia. menangis. great.

"... aku hanya ingin memulai hidup baru denganmu disini. aku ingin melupakan segala hal tentang ayahmu. aku hanya ingin bahagia Harry"

bodoh Harry, kau bodoh. tentu kau tau tentang ini. seharusnya kau menangkap apa maunya. tentu saja dia sangat ingin pindah karena si brengsek itu. si brengsek yang meninggalkan ibu, aku dan gemma ketika kami kesulitan. si brengsek yang meninggalkanmu dan menyebabkanmu tidak memiliki sosok ayah. tentu Harry, tentu.

"mom..."

"maafkan aku..." aku menghapus air mata dari kedua matanya.

"tidak Harry. maafkan aku" dia tersenyum padaku

aku mengangkat kardus lainnya yang tergeletak di lantai. semuanya sudah ibuku siapkan, meskipun tanpa sepengetahuanku sebelumnya. entah mengapa dia begitu yakin bahwa aku akan setuju dengannya. meskipun dia benar

oh apa ini

sebuah kardus kecil berwarna coklat kusam dengan tulisan Harry's diatasnya. aku bahkan tidak ingat bahwa aku memiliki barang-barang simpanan seperti ini atau semacamnya.

Palm Trees and The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang