Venus 1

3.5K 523 50
                                    

Ini hari ke-24 setelah aku bangkit dari koma.

Namaku Venus. Umur 12 atau 13. Nama ayahku Ahsan. Nama ibuku Yuniar. Nama adikku Luna. Aku menulis dengan tangan kanan dan minuman kesukaanku jus jambu biji. Aku suka kucing tapi tidak pernah memilikinya. Sejauh ini tidak ada yang salah denganku.

Kini aku bisa melihat bekas jahitan di kepala belakangku. Lewat cermin pastinya. Rambut panjang yang dulu dibanggakan Ibu dicukur habis dan sekarang sudah bertunas kembali seperti ilalang.

Luna berkata banyak teman yang menjenguk dan mendoakan kesembuhanku sewaktu aku masih tidak sadarkan diri, tapi aku agak heran karena cuma segelintir teman sekelasku yang datang setelah aku terbangun.

Yah, aku tidak berharap banyak, sih. Ada yang membesuk saja rasanya sudah senang sekali. Roti, kue, buah, dan entah apa lagi berjejalan memenuhi ruang perawatanku. Mereka pikir orang koma akan langsung sadar jika di dekatnya ada makanan.

Pertanyaan pertama para pembesuk rata-rata sama: bagaimana itu bisa terjadi.

Aku juga tidak tahu persisnya seperti apa. Waktu itu aku bermain petak umpet dengan Luna, Giga (abang sepupu), dan Adam (anak tetangga). Rumahku di tengah-tengah kebun, di mana-mana ada pohon dan semak belukar. Di satu wilayah tanah kakekku itu malahan masih ada rawa dan hutan kecil. Ayahku bersaudara dengan ibunya Giga. Mereka mendapatkan tanah warisan dari Kakek dan membangun rumah di lahan yang sama. Rumah Giga di ujung Selatan yang tanahnya paling tinggi; rumah kami di ujung utara dekat rawa.

Ibu selalu mengeluh mengapa Ayah tidak mendirikan rumah di bagian tengah, yang agak jauh dari rawa, karena menurutnya rawa itu seram. Sewaktu mengandungku, Ibu pernah melihat ular sawah besar di sana. Namun, Ayah berkata di dekat rawa sangat mudah mendapatkan air. Ayah mengeduk sumur di bawah sebatang pohon rambutan besar. Ia memasang pagar kayu di sekeliling lubang sumur supaya tidak ada anak-anak yang melongok ke dalam sumur lalu tercebur.

Akan tetapi, setelah kejadianku ini, Ayah mungkin baru membenarkan perkataan Ibu.

Waktu itu giliran Luna berjaga. Luna berdiri menghadap dinding teras rumah Giga, sementara kami bertiga berpencar ke pekarangan yang luar biasa luas untuk bersembunyi. Giga selalu mencapai tempat persembunyian favoritnya duluan. Di dalam tumpukan ban di garasi rumahnya. Tempat itu dekat dengan tempat berjaga Luna dan cukup tersembunyi. Strateginya adalah keluar saat Luna sedang mencari ke bawah—ke rumah kami. Giga memang agak licik.

Adam pemain nomor dua yang berhasil menemukan persembunyian di balik pohon melinjo. Batang pohon itu besar sementara tubuh Adam kurus, jadi dia bisa menyempil begitu saja tanpa terlihat. Dan lagi, dia punya kecepatan lari anak kucing yang mati kekagetan. Dia biasanya juga berhasil berkat kecepatannya ini.

Sementara itu, saat hitungan Luna sudah mencapai delapan puluh, aku belum juga mendapatkan tempat bersembunyi. Aku benci kalau cowok-cowok itu mengejekku karena selalu ketahuan—dan tidak pernah menang, jadi kali ini aku bertekad untuk benar-benar "menghilang".

Aku bersembunyi di balik sumur kebanggaan Ayah. Pagar kayunya jarang-jarang dan mulai rapuh, tapi lumut dan pakis yang tumbuh mengelilinginya menyamarkanku lebih baik dari yang kukira.

Aku yakin Luna bahkan belum selesai berhitung ketika aku mendengar suara desisan aneh itu. Tanah lembut yang kupijak bergerak-gerak. Gerakan yang langsung kuketahui merupakan gerakan makhluk hidup.

Aku baru beranjak sedikit saat tiba-tiba mataku berserobok dengan mata hijau makhluk itu. Lidah bercabangnya menjulur-julur. Tubuh abu-abu besarnya yang dipenuhi pola batik melingkar-lingkar di pojok sumur. Aku menginjak ekornya.

Aku melonjak, tetapi bokongku malah menumbuk pagar yang lapuk dan aku kehilangan keseimbangan. Kepala belakangku membentur pagar sumur di seberangnya. Aku sempat mencengkeram daun-daun pakis, tetapi begitu mudahnya mereka tercerabut dari tanah lumutnya.

Begitu air dingin menyentuh punggungku, semuanya menjadi gelap.

Luna bilang sekarang Ayah sudah menutup sumur itu dengan beton dan memasang papan besar peringatan dilarang mendekati sumur. Luna juga bilang ia, Giga, dan Adam tidak pernah bermain petak umpet lagi sejak saat itu.

Baru setelah Luna menyebut-nyebut Adam, aku heran ke mana anak satu itu. Dia tidak pernah sekalipun datang menjengukku di rumah sakit.

Wajah Luna menjadi sedih saat aku bertanya tentang Adam.

"Dia dipukuli ayahnya," ucapnya. "Ayahnya kira Adamlah yang menyebabkan kecelakaanmu. Dia dihukum tidak boleh keluar rumah lagi selain ke sekolah."

Adam memang nakal, tapi dia tidak pernah mencelakakan orang. Lagi pula aku berani bersumpah bukan Adam yang mendorongku ke sumur. Ini karena ular sawah terkutuk itu. Mengapa pula Adam harus menerima hukuman sejahat itu dari ayahnya? Ini tidak adil.[]

EphemeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang