Venus 4

2.3K 415 16
                                    

Oreo sepertinya tidak menyukai nama yang kuberikan, meskipun sosoknya mirip biskuit Oreo. Dia tidak pernah menoleh setiap kupanggil dengan nama itu, meskipun aku sudah mengiming-iminginya dengan kudapan penuh protein.

Bagaimanapun, sebelum ini dia pernah tinggal dengan orang lain, dan tentu saja dia sudah pernah diberi nama. Mungkin ia lebih menyukai namanya yang lama. Mungkin nama lamanya Alexander atau Leonardo. Mungkin pemilik lamanya mengucapkan nama itu dengan penuh pemujaan, dan sebagaimana bangsa kucing, Oreo senang dipuja. Sayangnya aku tidak punya banyak tenaga untuk memuja kucing.

Maka, aku lebih banyak menggunakan decakan lidah dan ucapan "Puss" yang melengking untuk memanggilnya mendekat. Luna menyarankanku mengganti namanya menjadi Isabella, tapi Oreo itu jantan.

"Dari mana kau tahu?" tanya Luna skeptis.

"Periksa saja di bawah buntutnya."

Oreo memukul Luna dengan kaki depannya saat melakukan itu. Sepertinya dia malu.

"Dia tidak punya 'bola'," ujar Luna.

"Pasti sudah dikebiri," gumamku.

Sayang sekali, padahal Tante Asti, ibunya Giga, ingin mengawinkannya dengan seekor kucing kampung betina. "Untuk memperbaiki keturunan," katanya. Diam-diam dia juga menginginkan kucing angora.

Sebenarnya aku ingin menamakannya "James Bond", karena corak bulunya adalah corak tuxedo, seperti agen yang selalu memakai setelan jas elegan itu. Namun, menatap mata bulat kuning madunya membuatku yakin nama Oreo terdengar lebih tepat.

Hanya saja, butuh waktu tidak sebentar hingga dia terbiasa dengan nama itu.

Oreo tidur di keranjang rotan yang diberi bantal kecil sebagai kasur dan potongan selimut bekas sebagai alas tambahan. Dia kucing yang disiplin. Dia seperti bisa membaca jam dan tahu kapan waktunya masuk kamar dan tidur. Dia juga sangat terlatih dengan kotak pasirnya. Selama dua minggu pertama, ibuku uring-uringan setiap mencium bau 'sedap' dari garasi, tempat kotak pasir Oreo diletakkan. Namun, setiap kali pasirnya diganti, bau itu akan menghilang, jadi bisa dikatakan Oreo tidak pernah kencing sembarangan. Itu juga membuktikan dia tidak suka menandai wilayah kekuasaan, yang artinya dia terbiasa hidup dengan kucing lain yang lebih superior.

Semakin kupikirkan dalam-dalam tentang perilaku cerdas Oreo, semakin aku tertarik mengetahui masa lalunya. Seperti apa kehidupannya bersama pemilik lama? Bagaimana dulunya dia dilahirkan? Berapa saudara seperindukannya? Apakah saudara-saudaranya juga secantik dia? Apa makanan kesukaannya? Tempat bersembunyi favoritnya. Mainan kesukaannya. Apakah dia pernah naksir kucing tetangga? Bagaimana rasanya ketika dia dikebiri? Bagaimana rasanya ketika mengetahui pemiliknya telah tiada? Bagaimana rasanya tinggal di tempat penampungan kucing?

Oreo tidak pernah mengeong. Dia juga kalem dan banyak duduk di dalam rumah. Favoritnya di birai jendela ruang tamu yang menghadap petak bunga di halaman. Dia belum terikat secara batin dengan siapa pun di rumah ini, jadi dia lebih suka menyendiri. Aku juga belum berani mengajaknya bertemu kucing-kucing lain di rumah Giga, karena ditakutkan mereka akan bertengkar. Jadi, untuk sementara, Oreo menjadi kucing introver. Kurasa semua kucing juga begitu, sih.

***

Oreo melakukan kenakalan pertamanya. Pagi, ketika aku sedang melotot di depan cermin untuk memasang lensa kontak baruku, dia tiba-tiba melompat dari kasur ke punggungku. Lensa kontakku terlepas dari ujung jari dan jatuh entah ke mana. Aku meneriaki Oreo dan ibuku langsung datang tergopoh-gopoh.

"Ada apa?"

"Bantu... cariin lensa kontak?"

Meskipun lensa kontaknya ketemu, ibuku tidak memperbolehkanku memakainya lagi. Yah, sia-sia saja berusaha tampil trendi. Mungkin takdirku memang berkacamata. Puas kau, Oreo?

Kacamata memang membuat penampilanku berubah drastis. Katanya aku terlihat seperti kutu buku. Tentu saja, karena lensa kacamataku lumayan tebal dan aku benar-benar kesulitan melihat tanpa itu.

Ketika berangkat sekolah aku menangis. Aku benci penampilanku sekarang. Mengapa pula mataku jadi seperti ini?

Elsa tahu aku sehabis menangis. Dia bertanya apakah aku dimarahi orang tuaku, dan aku jawab tidak.

"Aku cuma kesal karena gara-gara kecelakaan itu aku jadi begini," aku menunjuk kacamata yang membuatku kelihatan culun dan kuper itu.

"Ada yang dengki enggak, sama kamu?" Elsa duduk di kursi sebelahku dan menurunkan tasnya.

"Dengki gimana?"

Mata Elsa membulat, gerakan benik hitamnya membentuk kode yang tidak kupahami.

"Apa yang menimpa kamu itu terlalu parah untuk disebut kecelakaan. Mungkin kamu enggak ingat, tapi bisa jadi ada yang dorong kamu ke sumur."

Aku menghela napas. "Sa, aku jatuh sendiri. Kalau memang ada yang mendorongku, seharusnya lukaku di jidat, bukannya di bagian belakang yang aku enggak bisa lihat kayak gini."

Aku mencopot topi rajutanku sebentar, untuk menegaskan posisi lukaku, lalu memasangnya lagi. "Dan kalau dia mendorongku ke belakang, seharusnya aku tahu siapa pelakunya."

"Ya itu, kamu insomnia, Ven."

"Amnesia."

"Eh, iya. Itulah pokoknya."

"Tapi pemeriksaan kepalaku bagus. Aku enggak amnesia atau semacamnya."

Elsa berdeham dan mengatur posisi duduknya sedemikian rupa. "Gini deh, Ven. Kamu koma selama...?"

"Empat puluh hari."

"Nah, kenapa bisa koma? Karena ada cedera serius di kepalamu. Dan kamu tahu salah satu fungsi otak? Menyimpan informasi. Seperti hard disk. Kamu pikir, dengan cedera separah itu apa mungkin fungsi otakmu enggak terganggu? Kamu mungkin belum menyadarinya, Ven. Tapi barangkali, kamu tidak menyadarinya karena ingatan tentang hal itu sudah terhapus."

Elsa adalah anak yang pintar, walaupun kadang agak pelupa dan omongannya berbelit-belit. Aku percaya teorinya berdasarkan sesuatu yang pernah dia baca sebelumnya. Dan sejujurnya, itu membuatku takut. Bagaimana kalau dia benar? Bagaimana jika ingatanku yang sekarang tidak sama dengan apa yang waktu itu terjadi? Itukah alasan keluargaku putus hubungan dengan keluarga Adam?[]



-------

Dari Pengarang:

Don't you thing Oreo is such a delicious pet? Haha, kidding.

EphemeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang