Aku melihat Adam berjalan kaki sepulang sekolah. Sendirian. Kepalanya tertunduk menatap jalan, kedua tangannya dijejalkan ke saku celana. Saat mobilku melintas mendekatinya, aku menurunkan kaca jendela dan menyapanya. Dia mengangkat wajahnya sebentar, hanya sekadar ingin tahu siapa yang telah menyapanya, tetapi tidak tersenyum. Lalu menunduk lagi.
Adam seharusnya tidak seperti itu. Biasanya dia yang menyapa duluan. Kalaupun dia terlambat menyapa, dia akan membalas dengan sangat heboh. Itulah kenapa aku senang bermain dengannya. Karena dia selalu riang dan selalu punya kabar bagus untuk diceritakan. Kalau melihat sikapnya sekarang, boro-boro dia mau bicara.
Sebelum koma, aku masih suka berjalan kaki dengannya dari dan menuju sekolah. Biasanya aku dan Luna akan berjalan sampai ke rumahnya dan dia sudah menunggu di teras, lalu kami berangkat sekolah bersama-sama. Sejak SD, sekolah kami tidak pernah jauh-jauh dari rumah. Sekarang, dua bulan setelah koma, aku masih harus diantar-jemput dengan mobil karena Ibu takut aku kelelahan.
Luna sudah ada di rumah saat aku pulang. Dia sedang memangku dan membelai-belai Oreo di dekat jendela ruang tamu. Oreo diam saja, ekor kemucing hitamnya menyapu-nyapu lengan Luna. Ketika aku menghampirinya, Oreo tidak menoleh. Hanya misainya yang bergerak-gerak seperti radar dan telinganya berkedut. Sepertinya dia tipe kucing yang tidak tertarik pada siapa pun yang datang. Atau barangkali tidak suka padaku?
"Siang, Manis," aku menggaruk bawah dagunya. Kucing-kucing Giga senang digaruk dagunya, tetapi Oreo tidak bereaksi apa-apa.
"Sudah dikasih makan?" tanyaku.
"Sudah," kata Luna. "Nasi sama suwiran ikan rebus."
Aku belum pernah merawat kucing ras, jadi aku tidak tahu apa saja yang seharusnya dikonsumsi Oreo. Untuk sementara ini Oreo tidak masalah dengan menu nasi dan ikan rebus saja. Kadang aku memberinya kudapan sosis kalau aku sedang makan sosis. Aku juga memberinya susu yang biasa kuminum, walaupun sesungguhnya kucing intoleran terhadap susu sapi. Toh tubuh manusia juga sebenarnya tidak dirancang untuk minum susu sapi, kan? Tapi tetap saja manusia minum susu sapi.
"Kalau belum dikasih makan, dia pasti ribut, ya?" candaku.
"Tidak juga," sanggah Luna. "Dia cuma mengangkat tempat makannya dan menjatuhkannya di dekat siapa pun yang ditemukannya duluan."
"Seperti anjing, ya?" aku menempelkan ibu jari dan telunjuk di bawah dagu.
Luna tersenyum. "Mungkin sebelum ini dia tumbuh besar bersama seekor anjing?"
"Tapi sifatnya tidak terlalu keanjing-anjingan," gumamku, dan Luna tertawa. "Kenapa?"
"Menurutmu, apakah kucing akan tersinggung jika kita mengatainya anjing?"
"Entahlah. Barangkali dia malah bangga karena anjing lebih besar."
"Tapi bukankah kucing adalah dewa?"
Ibu datang dan menyuruhku cepat berganti baju lalu makan. Nada suara Ibu masih terlalu baik sampai-sampai terasa asing, dan aku tidak pernah terbiasa dengannya. Aku bertanya-tanya kapan Ibu mulai bosan memperlakukanku seperti kaca rapuh dan kembali menjadi Ibu yang biasanya. Rasanya seperti tinggal di rumah orang lain yang tidak dikenal saja.
Sebelum aku beranjak sepenuhnya dari ruang tamu, Luna berkata,
"Pasti menyenangkan bermain bersama hewan yang lebih besar, ya? Seperti punya panutan sekaligus idola yang bisa mengajari kita banyak hal."
Seperti bermain bersama Giga dan Adam.
***
Giga lebih tua dariku dua tahun, sedangkan Luna lebih muda dariku setahun. Adam mengisi jarak di antara aku dan Giga, jadi kami berempat seperti... hmm... Teletubbies. Anggota persaudaraan yang sempurna, bukan? Dua anak lelaki yang tua dan dua anak perempuan yang muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemera
Mystery / ThrillerTersedia di toko buku terdekat. [Winner of Wattys 2018: The Change Makers] Rumah di tepi rawa itu menyimpan bahaya. Suatu hari Venus, anak perempuan tertua keluarga yang tinggal di sana, terjatuh ke dalam sumur dan koma. Saat ia siuman, ia mengaku t...