Venus 6

2.1K 353 9
                                    

Aku mulai mencatat. Mungkin Elsa benar tentang ingatan yang terhapus itu. Bukti pertama yang kudapat adalah tentang pekerjaan ibuku. Aku selalu mengira ibuku adalah ibu rumah tangga sampai Giga menyadarkanku bahwa Ibu sesungguhnya pekerja kantoran. Ini membuatku takut. Bagaimana jika masih ada banyak hal lain yang ternyata kulupakan gara-gara benturan keras itu? Dan bagaimana aku bisa tahu ketika sudah tidak ada lagi potongan ingatan yang hilang?

Pintu kamarku berkeriat. Luna masuk. Aku buru-buru menutup buku harianku.

"Makan," bilangnya.

Aku mencampur nasi dingin dengan suwiran daging ikan rebus dan meletakkan mangkuk makan Oreo di bawah meja, dekat kakiku. Aku ingin dia selalu makan di dekatku. Tidak tahu sih apa pengaruhnya, tapi siapa tahu dia jadi terbiasa dan semakin menempel padaku.

Menu makanku sendiri sambal ikan sarden dan tumis sawi putih. Untuk Luna yang tidak suka pedas, disisihkan beberapa potong ikan yang tidak dicampur sambal. Oreo harus tahu bahwa di rumah ini, segalanya setara. Apa yang dimakan manusia, itulah yang dimakan kucing.

Di tengah-tengah makan, Ayah menanyai bagaimana sekolahku.

"Aman," kataku, kalau itu yang mau didengarnya. "Lancar."

"Kepalamu enggak sakit waktu belajar, kan?" tanya Ibu.

"Wah, kalau soal sakit, dari sebelum jatuh, aku sudah sering sakit kepala kalau lagi belajar."

Semuanya tertawa, kecuali Oreo. Dia hanya mengunyah sambil mengeluarkan suara "nyam nyam nyam".

"Jangan ikut olahraga dulu," kata Ayah tegas. Di hari pertama aku kembali ke sekolah, deretan 'jangan'nya lebih panjang. Sekarang hanya tinggal olahraga saja yang tidak boleh.

"Oke," kataku. Ibu mengangguk-angguk.

"Giga perhatiin kamu kalau di sekolah, enggak?" tanya Ayah lagi.

Aku menggeleng. Ayah berdecak kesal.

"Memang enggak becus anak satu itu. Disuruh apa saja pasti tidak beres."

"Sudahlah," Ibu membelai lengan Ayah. "Venus punya teman yang selalu bantu dia, kok. Iya kan, Nak?"

Aku mengiyakan. "Namanya Elsa. Teman sebangku. Anaknya baik, kok."

"Baguslah," suara Ayah merendah, pertanda sudah mulai santai lagi.

***

Pertama-tama, aku bukan anak pengadu, jadi aku tidak akan menceritakan semua masalah yang kualami di sekolah. Lagi pula, itu bukan jenis masalah yang perlu kuceritakan kepada siapa-siapa.

Waktu itu aku ke toilet. Toilet sekolahku terdiri dari empat bilik. Biasanya aku masuk ke bilik pertama atau kedua. Tapi ketika itu tiga bilik pertama penuh, jadi aku memeriksa bilik keempat yang jarang dipakai.

Betapa terkejutnya aku saat melihat sesuatu yang bergulung-gulung di dalamnya.

Itu cuma selang, tapi selangnya besar dan bermotif jala seperti ular. Aku jatuh terduduk di depan pintu toilet dan anak-anak cewek menyaksikanku. Mereka tertawa. Mereka pikir ini lucu.

Bagian belakang rokku kotor dan pantatku sakit. Jantungku juga berpacu liar sampai rasanya dada ini mau meledak. Aku tidak jadi pipis. Rasa kebeletnya hilang begitu saja. Aku berlari ke kelas dan bertanya pada Elsa apakah dia punya ide untuk menutupi kotoran di pantatku. Elsa langsung panik.

"Kamu jatuh?"

"Enggak apa-apa, kok," aku meyakinkannya.

Dia meminjamkanku jaketnya yang bisa kupakai melingkari pinggangku, tapi hingga jam terakhir dia tidak berhenti menanyakan apakah aku baik-baik saja.

Jawaban jujurnya, tentu saja aku tidak baik-baik saja.

Tapi memangnya mereka bisa membantu apa?

***

Sebelum tidur, aku bertanya pada Luna apakah dia pernah melihat ular di dekat-dekat ini. Luna bilang belum pernah. Dengkuran Oreo terdengar saat kami sama-sama terdiam.

"Memangnya kenapa?" giliran Luna bertanya.

"Ibu bilang pernah melihat ular sawah besar di dekat rawa."

"Oh. Datuk."

"Nama ular itu Datuk?"

"Iya. Tapi jangan dipikirkanlah. Datuk itu enggak ada."

Aku bangkit duduk. "Enggak ada gimana?"

"Ya... enggak ada. Enggak nyata."

"Maksudmu itu cuma khayalan Ibu?"

"Aku enggak bilang itu cuma khayalan Ibu. Yang jelas, Datuk itu bukan benar-benar ular."

Sekejap, sekujur tubuhku merinding. "Jadi-jadian?"

Sambil berbaring, Luna mengangguk-angguk.

"Kamu tahu dari mana?"

Kali ini Luna tidak menjawabku. Dia hanya melirikku penuh arti, lalu memejamkan mata.

***

Pagi itu aku tiba di sekolah bertepatan dengan Adam. Dia masuk gerbang duluan. Aku memanggilnya. Dia berhenti berjalan dan berputar ke belakang untuk mencari tahu siapa yang sudah memanggilnya, tapi langsung melengos begitu tahu kalau itu adalah aku.

Aku sudah bertanya pada orang-orang berbeda tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku. Jawaban mereka juga berbeda-beda, dan hanya tinggal satu orang yang belum kudengarkan kesaksiannya. Aku harus membuat Adam menjelaskan apa yang terjadi. Aku perlu mendengar cerita dari sudut pandang dia.

Aku mengejarnya lalu menarik tas ranselnya. "Adam!"

"Apa, sih?" hardiknya.

"Kenapa kamu enggak mau jawab kalau kupanggil?"

Dia menyentak diri sampai cengkeramanku di tasnya terlepas. "Menjauhlah dariku."

Aku melongo. "Apa?"

"Jangan pernah dekati aku lagi." Matanya tajam dan dingin saat berkata seperti itu, dan tatapan itu bukan tatapan Adam yang kukenal. Dia biasanya memiliki mata yang berbinar cerah seperti Fanta rasa jeruk. Matanya yang barusan ini hitam mengkilap seperti batu obsidian yang ditemukan Luna di semak-semak dekat hutan.

"Tapi aku enggak mau berhenti berteman denganmu."

"AKU yang mau berhenti berteman denganmu," tukasnya dengan mata membelalak, lalu pergi.

Apakah dia membenciku? Mengapa? Apakah karena semua anggota keluargaku membencinya dan dia jadi ingin membalasnya dengan membenciku juga?

Aku melanjutkan perjalanan ke kelas dengan lesu. Kuharap seseorang mau berterus terang padaku sekarang.[]

EphemeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang