25 tahun berikutnya

2.8K 29 0
                                    

Tahun 1247 suatu malam di tengah bulan Margasirsa.

Duapuluh lima tahun kemudian setelah perang Ganter yang

menelan banyak korban jiwa itu. Bulan purnama menerangi

hutan di pinggir desa Mlarak. Tampak sebuah bangunan tua di

antara pepohonan jati. Reruntuhan rumah tua itu hampir tidak

beratap. Hanya satu sisi dinding yang terbuat dari batu hitam

yang masih utuh. Dinding lainnya sudah tidak utuh. Daun

pintu sudah tak ada, rusak dan lapuk termakan rayap.

Di ruangan dalam yang terbuka dan luas mirip bangsal

beberapa orang sedang istirahat. Rumah tua itu sering

dijadikan tempat menginap perantau yang kemalaman di

jalan. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara jengkrik

dan kodok sahut-sahutan. Gerimis membuat malam makin

dingin.

Terdengar suara orang mendendangkan kidung. Suaranya

sinis dan dingin. Suaranya tidak keras namun terdengar jelas

oleh semua orang di rumah besar. Suara jengkrik dan kodok

mendadak senyap ditelan suara yang membawa suasana

magis.

Dari Gunung Lejar,

Jurus Penakluk Raja.

Ilmu dari segala ilmu,

Melenggang ke Barat,

Meluruk ke Timur,

Merangsak ke Utara,

Merantau ke Selatan,

Tak ada lawan,

Tak ada tandingan,

Ilmu dari segala ilmu

Kidung itu seakan menyihir semua orang. Semua diam.

Saling pandang. Sebagian wajahnya pucat. Sebagian lainnya

waspada. Kidung dinyanyikan dengan tenaga dalam tinggi,

membuat jantung orang berdegup kencang. Suara itu juga

menebar pengaruh magis.

Pelan-pelan gema suara menghilang. Suara jengkrik dan

kodok mulai lagi bersahutan. Gerimis masih menyiram bumi.

Seorang lelaki paruh baya bersandar di dinding tertawa dingin,

menghentakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya gembul, kepala

botak.

”Kidung hanya satu kali dinyanyikan, berarti ia akan

membunuh satu orang di antara kita di ruangan ini, siapa?

Aku pasti akan melawannya, aku akan adu jiwa dengannya,

sudah lama aku mencarinya,” kata si lelaki botak itu. Semua di

ruangan saling pandang. Semuanya, sebelas orang, tujuh

lelaki dan empat wanita.

Seorang anak muda berusia sekitar tigapuluhan sedang

melahap nasi bungkus. Ia menunda makannya, memandang

lelaki gembul botak itu dengan heran. Ia menoleh kepada

Wisang Geni : pendekar tanpa tandingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang