Prolog

48 5 13
                                    

''Bin, payungnya!'' seruku.

Namun yang kuteriaki malah sengaja benar berlari menjauh ke tengah halaman.

Ia tertawa kencang sembari membentangkan lebar-lebar tangannya, menengadah sekan menyambut bulir hujan laksana sahabat lama saja.

Di atas sana langit cerah, sinar suryapun lembut menerpa wajah.

Namun hal itu tak menyurutkan hujan yang sedari tadi mengguyur deras perkampungan kami, hanya saja ini seperti pertemuan yang telah direncanakan dan sangat dinantikan Bintang, teman baikku.

Siang ini kami baru saja pulang sekolah. Bintang yang tak sabaran keluar kelas menyerobot antrian siswa yang hendak menyalami Pak Laar, guru kami.

Aku yang sudah di bibir kelas hendak mencegahnya berlari, namun sepertinya tak ada yang bisa menghalangi pertemuan ini.

Aku pun hanya bisa berdecak sebal seraya berkacak pinggang menatapnya yang terus saja terbahak bahak mengitari halaman sekolah.

Puas memandangku yang sepertinya akan kambuh penyakit merajuknya, ia melesat cepat di antara tetes air yang berjatuhan, mendekatiku.

Di sini aku siap menerkamnya dengan ratusan omelan. Keliru, begitu sampai ia menyambar lenganku memaksaku menebas tempias hujan yang membelai lembut tak berkesudahan.

Demi merasakan napasku yang mulai terengah-engah, ia mengurangi kecepatannya. Sekarang kami hampir separuh jalan menuju ke rumah.

''Gimana Lan, asyik kan?''

Sebenarnya tanganku sudah gatal ingin menimpuknya dengan sepatu ketsku. Namun, urung ketika menatap wajahnya yang berbinar melepas kerinduan.

Tinggal menunggu hitungan detik, aku mengulas senyum.

''Kamu tau Lan, kenapa aku teramat merindukan hujan? Teramat menyenanginya, menyisakan rasa candu yang mungkin menurutmu amat berlebihan. Aku tahu, kita sudah menginjak usia remaja, remaja tanggung usia tiga belasan. Seharusnya sudah tak lazim bermain hujan seperti ini. Sudah amat tak pantas macam anak sd yang terbahak dibalut derasnya hujan. Aku tahu, sangat tahu. Namun, aku merasa setiap tetes air yang perlahan memeluk bumi, suaranya sayup-sayup menenangkan sukma yang terbungkus erat nestapa, serasa berbisik lembut di telinga menguatkanku untuk bertahan lebih lama lagi. Sentuhannya dingin menyapu segala amarah yang menyelimutiku. Aku merasa seperti melayang, bebas, damai, tanpa beban yang harus kupikul. Aku Bintang dan aku mencintai hujan. Sangat mencintai.''

Mulai detik itu, aku tak lagi menghentikan langkahnya menerobos hujan, tak lagi menyodorkan payung, ataupun merajuk karenanya.

Bahkan aku ingin menjadi hujan untuknya.

****

Slow update, tinggalkan jejak yang membangun yaa
Salam hangat,
The amateur author
:) :* :)

Believe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang