First

11 1 0
                                    

Kreeeekkkkk.....

Ibu menyibak tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi menelisik masuk melewati celah ventilasi.

''Sudah siang, Ra! Kau tak ingin kan hari seninmu rusak hanya karena kau susah sekali dibangunkan?''

''Hari senin Ra sudah rusak begitu ibu pagi-pagi sekali membangunkan Ra.'', jawabku asal.

''Ini sudah lewat pukul lima Ra, jika ini kau anggap pagi - pagi sekali, pukul berapa kau anggap siang?'', balas Ibu menekankan kata ''pagi-pagi sekali''

''Satu jam lagi, Bu. Nanti Ra bangun sendiri.''

''Raaaaaa!!''

Demi mendengar seruan Ibu yang dinaikkan beberapa oktaf, aku bergegas ke kamar mandi.

Selesai bersiap dan menyusun jadwal, aku beranjak menuju meja makan.

Di sana ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan dan Ayah membantunya.

''Ayo Ra, segera sarapan, bekalmu sudah Ibu siapkan, jangan lupa dibawa'', Ibu berkata seraya membereskan peralatan memasak.

Aku terbiasa sarapan sendiri, Ayah dan Ibu sibuk menyelesaikan pekerjaan masing - masing. Lima menit berlalu, sarapanku pun tandas.

Aku mengambil tas, memasukkan bekal, segera pamit dan menyalami Ayah dan Ibu.

''Hati-hati, Ra'', mereka berseru hampir bersamaan.

Aku melangkah keluar, berjalan cepat setengah berlari menuju perempatan jalan raya, bersiap menunggu mikrobus yang membawaku ke sekolah.

Ini hari senin, seharusnya aku berangkat lima belas menit lebih awal dari ini.

Kulirik sekali lagi jam tangan yang melingkari pergelangan tanganku, satu dua bulir keringat mulai membasahi kemeja putihku.

Sudah hampir lima belas menit aku berdiri, namun satu bus pun tak tampak di sela-sela pengendara motor.

Apa yang harus kulakukan? Jika saja aku bisa berlari kencang hingga kecepatannya setara dengan angkutan umum tentu sedari tadi sudah kulakukan.

Aku mulai bercoleteh menyalahkan semuanya, hingga jam tangan pun ingin rasanya aku lempar saja karena kehadirannya membuatku semakin cemas.

Saat aku berada di ujung kecemasan, tak merasa ada tanda - tanda hidupnya asa dan hampir benar-benar ingin melepas jam tangan yang setiap derajat perputarannya menghambat jalan napasku, sesosok malaikat tak bersayap tiba tanpa permisi.

''Oiii, naik sini, siang amat bangunnya!''

Tanpa berbasa-basi atau sekedar terima kasih aku menerima helm yang disodorkannya lalu naik dan duduk manis di jok belakang.

''Jalan, Al!''

Motor yang kutumpangi segera melaju dan gesit menyalip beberapa pengendara lain.

Angin usil sekali mengibar - ngibarkan rambut panjangku yang lupa kusisiri.

Aku tak mempermasalahkan itu, tanganku menempel di pundaknya dan bibirku komat-kamit merapal doa agar kami tiba tepat waktu di sekolah.

''Kamu kira aku tukang ojek apa? Pegangan di perut dong bukan di pundak'', ia berseru kencang takut aku tak mendengarnya.

''Terserah aku dong! Gausah teriak aku nggak budeg'', balasku ikut teriak.

''Kalau gitu, terserah aku juga dong mau turunin kamu dimana? Ya gausah balas teriak juga, kamu kira kupingku ini toa masjid apa?'' timpalnya lebih pelan.

Believe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang