Halaman #2

199 11 1
                                    

Bersikaplah lebih peka, setidaknya sekedar memahami perasaanmu sendiri -

Terkadang, aku ingin mengutuk diriku sendiri. Mengutuk bagaimana aku yang terlahir sebagai wanita, namun jauh dari kata 'peka'. Bahkan sampai detik ini pun, aku tidak pernah menyangka jika ternyata ketidakpekaan ku adalah awal dari segala bencana hebat yang meluluh lantahkan hatiku sendiri...

******

Hari itu hari kelahirannya. Aku tahu bahwa dia bukan seorang yang akan mengingat hal semacam itu. Karena akupun begitu. Tapi, entah bagaimana cara dan cerita, aku selalu saja ingat.

Seperti biasa, seperti tahun terdahulu, aku selalu menyiapkan seloyang bolu pisang lengkap dengan toping cokelat dan keju kesukaaannya.
Meskipun sebenarnya aku tidak benar-benar yakin, itu kesukaanya atau bukan. Aku hanya menyimpulkannya sendiri, karena dia pemakan segala. Jadi kuputuskan dia menyukainya.

Dia tidak pernah meminta. Aku juga tidak pernah berniat memberi. Sungguh.
Itu bukan gaya kami, sebenarnya.
Hanya saja, seperti tradisi, dia tidak pernah lupa membawa seloyang cake vanila dengan toping oreo yang crunchy serta taburan sedikit keju diatasnya, setiap hari lahirku.
Jadi akupun melakukan hal yang sama, membalas budi baiknya.

Aku diteras depan, sedang memotret senja yg hampir menghilang saat seseorang dengan aroma yg sudah kuhafal berdiri dari atas motornya.
Dia memakai kemeja biru muda , dengan lengan digulung sampai siku.

'Lagi ?'
katanya dengan nada tak percaya. Dan aku hanya tertawa. Dia tahu kebiasaanku, senang memotret senja, hampir setiap sore disaat golden hour.

Aku masuk , lalu tak berselang lama, keluar membawa satu loyang besar bolu pisang, tidak lupa dengan beberapa lilin diatasnya. Dia tidak suka lilin angka. Tidak tahu apa alasannya, dan aku juga tidak ingin bertanya.

Dia tergelak. Tertawa renyah hingga menimbulkan satu lekukan di pipi kanannya.

'Gue tebak, hari ini gue ulang tahun'.

Katanya lagi, masih dengan senyum mengembang, menunjuk loyang yang kubawa.
Aku mangangguk.
Dia paham bahwa aku hanya akan memberinya bolu pisang dengan ukuran besar beserta toping lengkap hanya pada saat momen pertambahan usianya.

Aku memakaikannya topi kerucut, lalu ia meniup lilinnya.
Dan setelahnya, kami hanya duduk diteras, menikmati bolu pisang bersama. Mirip seperti dua bocah balita. Anteng. Tidak bersuara.

'Make a wish ?' tawarku. Dia kembali tergelak. Lilin sudah ditiup , kue hampir habis, dan aku baru menawarkannya.

Setelah tawanya reda, ia membenarkan posisi duduknya. Selonjor dengan kedua tangan menyangga di belakang.

' Gue gak butuh make a wish...' ujarnya serius dengan pandangan lurus kedepan, entah apa yang ia lihat. Lalu tak berselang lama, dia tersenyum. Menatapku. Cukup lama. Seraya mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti saat itu...

' Kenapa gue harus minta sesuatu, kalau nyatanya Tuhan udah mengabulkan apa yang gue mau, bahkan sebelum gue meminta.'

Dan kebodohan tak termaafkanku adalah aku baru mengerti kata kata itu sekarang.
Lima tahun setelah semua berlalu ...

Monolog HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang