"Maira, kamu kenapa?" Nanda bertanya gusar karena Maira tak kunjung berhenti menangis. Firasatnya mengatakan ada hal yang tak beres yang telah terjadi.
"Teh Nda, bapak ... hiks ... hiks ..."
Saat nama Ayahnya disebut, Nanda memiliki firasat buruk yang telah terjadi pada Ayahnya.
Nanda mencoba untuk tenang, mengontrol emosi yang sudah akan meledak-ledak.
"Bilang sama Teh Nda, bapak kenapa Mai?" air matanya sudah turun tanpa diminta, suara yang Nanda keluarkan pun menjadi serak menahan tangis.
Anggi yang dari tadi sibuk memandangi handphone miliknya, seketika langsung memandang Nanda. Anggi terheran-heran saat melihat wajah Nanda yang berkulit kuning langsat, saat ini sudah dipenuhi air mata. Anggi yakin sesuatu yang buruk sudah terjadi sampai membuat sahabatnya menangis seperti itu. Meskipun mereka sudah berteman hampir dua tahun, tetapi baru kali ini Anggi melihat Nanda menangis.
"Ba-pak ... ba-bapak ... hiks ... hiks ..." Maira tak sanggup mengatakannya pada sang kakak. Ini terlalu sulit baginya, bahkan lebih sulit dibandingkan mengerjakan soal Matematika yang menjadi momok besar bagi sebagian siswa.
"Katakan Mai, apa yang terjadi sama bapak?!" Nanda tak sadar jika dirinya baru saja membentak Maira. Anggi yang baru kali ini mendengar Nanda berbicara dengan suara yang bernada tinggi, membuatnya terkejut dan hampir saja akan melemparkan handphone yang sedang digenggamnya jika saja ia tak sadar kalau handphonenya adalah keluaran terbaru.
"Bapak kecelakaan teh." Akhirnya Maira bisa mengatakannya dengan lugas.
Seperti jantung yang dicabut secara paksa saat tubuh masih bisa bernapas, seperti itulah rasa sakit yang kini Nanda rasakan.
"Di-di mana bapak ... se-sekarang Mai ...?" Nanda mengucapkannya dengan susah payah, Anggi yang dari tadi sudah berpindah duduk di samping Nanda, memberi kekuatan lewat usapan tangannya di punggung sahabatnya.
"Di rumah sakit Teh, hiks ... hiks ...," Maira masih menangis, tapi tidak separah sebelumnya.
Nanda mengusap lelehan air mata di pipinya, "di rumah sakit mana?" Nanda bertanya dengan tidak sabaran, ia takut jika kondisi ayahnya yang kecelakaan, parah, dan yang menjadi ketakutan terbesarnya jika ayahnya tidak dapat diselamatkan.
"Ya Allah ... Hamba mohon tolong selamatkanlah ayah hamba, hamba masih ingin melihat senyumannya, hamba belum bisa membahagiakannya di sisa umurnya."
"Di rumah sakit Trisakti Medika,"
"Teh Nda akan segera ke sana, assalamu'alaikum." Nanda segera pergi dari warung bakso Pak Jono tanpa berpamitan dulu pada Anggi, meninggalkan Anggi yang masih kebingungan.
"Yah ... kok aku ditinggalin sih?" Anggi mengambil tas milik Nanda yang dilupakan pemiliknya yang ada di meja dan tas miliknya juga, "Nandaaa ... tungguiinnn ...,"
"Neng ... neng ...,"
Anggi yang hendak mengambil ancang-ancang untuk menyusul Nanda terpaksa dibatalkan begitu mendengar suara bapak-bapak yang menupuk punggungnya dari belakang.
"Bapak jangan asal pegang-pegang saya yah! Ganjen banget sih!" sembur Anggi begitu berbalik badan menghadap bapak-bapak tadi.
"Bakso nyah banyar dulu kali neng, jangan asal pergi aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbah Cinta √
Spiritual[ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA ] Nandana Yasmine tak pernah menyangka bahwa yang akan mengkhitbahnya adalah adik kelas yang sering dibullynya saat masih SMA dulu. Orang yang akan mengkhitbah dirinya adalah bagian dari masa lalu Nanda yang kelam. Sese...