Enam Belas

16.2K 705 1
                                    

"Jadi, gitu ceritanya," kata Nanda mengelus punggung perempuan yang berada di sampingnya.

"Iya. Gue sebel banget, makanya nginep di sini nggak mau pulang."

"Nanti mereka khawatir lho cariin kamu? Nggak kasian apa?"

"Ya ... kasihan, sih. Tapi, namanya juga orang lagi kesel! Mama nggak ngertiin perasaan gue."

"Bicarain dulu aja pelan-pelan, jangan kayak gini nggak baik."

"Mama tuh keras kepala, pasti nggak bakalan luluh denger penjelasan gue. Gue udah kayak anak tiri aja, apa-apa harus sesuai keinginan mama, harus nurut, gue nggak berhak menyuarakan isi hati."

"Semua orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya. Begitupun mamamu."

"Gue rasa mama nggak!"

"Bicaranya baik-baik. Pakai kepala dingin, jangan pakai emosi. Percuma. Nggak bakalan selesai, malah makin parah nantinya."

Seira menghembuskan napas berat. Apa yang diucapkan Nanda ada baiknya juga. Selama ini ia berpikir, mamanya hanya memaksa kehendaknya sendiri tanpa tahu apa yang diinginkan dan tidak dinginkan putrinya. Apa yang mamanya mau, harus Seira lakukan tanpa penolakan. Sebelumnya, Seira menurut dengan apa yang mamanya inginkan, sampai ia sudah tidak sanggup lagi, dan memilih membangkang.

Puncaknya adalah ketika mamanya merencanakan perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak lelaki dari teman sekolah sang mama waktu kuliah dulu. Sungguh demi apapun, Seira akan menolak dengan tegas ide gila mamanya tersebut. Walaupun mamanya bilang ini hanya tahap perkenalan dulu, bukan langsung nikah, tapi ... hei, ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya atau seperti kehidupan dalam novel yang di mana sang tokoh utama awalnya benci, lalu lama-kelamaan jadi cinta. Bullshit! Ia hidup untuk dunia nyata bukan dunia sastra!

Seira sendiri kadang bingung, kenapa mamanya ingin segera ia menikah cepat-cepat? Menghindari hal tersebut terjadi, Seira memilih kabur dari rumahnya.

Untuk itulah, Seira berada di sini. Di rumah milik sepupunya. Untuk melancarkan aksi penolakan terhadap ide gila sang mama. Tidak mudah untuk membujuk Ray mengabulkan niatnya untuk tinggal dirumahnya. Seira bahkan harus menangis dulu sebelum diizinkan tinggal. Ah, kadang-kadang sepupunya itu amat sangat menyebalkan. Tidak mengerti situasi dan kondisi yang Seira alami.

"Jadi, gue harus gimana?"

"Gini ..."

"Assalamu'alaikum." Sesosok wanita dengan jilbab ungu tua menghampiri Nanda dan Seira yang berada di ruang tengah. Diikuti bersama bi Ida di belakangnya yang meminta izin ke dapur untuk membuat minuman untuk tamu majikannya.

"Wa'alaikumussalam warohmatulloh," jawab Nanda yang hendak berdiri sebelum tangan kanannya dicekal Seira.

"Itu mama gue," ucap Seira pelan. Raut wajahnya menandakan Seira tidak suka dengan kedatangan wanita paruh baya itu.

Nanda baru saja hendak berkata sesuatu sebelum wanita paruh baya yang dimaksud Seira adalah mamanya lebih dulu bersuara.

"Ini Nanda bukan? Istrinya Rayhan," ucap wanita itu antusias. Bahkan dirinya sudah berada dalam pelukan mamanya Seira sekarang.

"Ya ampun, cantiknya. Maafin tante ya sayang, nggak hadir di pernikahanmu. Anak satu itu memang kebangetan nggak ngasih tahu mau nikah. Mentang-mentang anak laki-laki yang nggak butuh wali, keluarganya sendiri sampai nggak dikasih tahu," omelnya pada sang keponakan yang sekarang bahkan tak ada di sini.

"Nggak papa kok, tante. Mas Ray mungkin punya alasan mengapa nggak ngasih tahu keluarganya," ucap Nanda tersenyum getir. Jika hanya Seira yang tidak datang, Nanda masih bisa mentolerirnya. Tapi, mengapa hatinya terasa sakit saat sadar jika Ray tak memberitahu kepada keluarganya tentang pernikahan ini? Mengapa seakan-akan Ray menyembunyikan pernikahan ini? Apa maksud Ray sebenarnya? Apa alasannya?

Khitbah Cinta √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang