05

2.3K 136 6
                                    

Pria berusia dua puluh empat tahun masuk. Wajahnya yang tampan menoleh ke wajah-wajah muridnya. Kemudian ia meletakkan buku absen yang ditenteng ke meja. Namanya Pak David, sosok guru keren yang dikagumi banyak murid. Bagaimana tidak? Dia masih muda, ganteng, tubuhnya atletis, dan selalu punya cara asik setiap mengajar olah raga hingga membuat anak-anak selalu merindukan jam olah raga.

Para siswa memasang wajah berseri-seri mencari perhatian. Kecuali Yona, Findy dan Arsy yang diliputi kecemasan.

Pak David berjalan mendekati meja murid, berdiri di lorong meja tepat di samping meja Yona hingga Yona dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh bidang Pak David hanya dengan mendongakkan sedikit kepalanya saja. Aroma wangi semerbak di rongga pernapasan siapa saja yang ada di dekat Pak David. Di sana Pak David membuka buku absen kemudian mengabsen seluruh siswa mulai dari A sampai Z. Setiap nama yang disebut akan menjawab 'hadir' sambil menunjuk tangan ke atas.

"Beby Diandra Stevany."

Tiba di nama itu, tidak ada jawaban. Kepala Pak David mendongak. Menatap kursi Beby yang kosong.

Yona, Findy dan Arsy saling berbisik. Bertanya-tanya kenapa Beby tidak muncul-muncul.

Pak David memberi tanda pada nama Beby.

"Aska Emanuel," seru Pak David. Ia kembali mendongakkan muka ketika tidak mendapati jawaban. "Ah ya, saya lupa, tadi saya suruh Aska mengambil matras di gudang," ucapnya sambil mengusap rambut hitamnya yang mengkilat.

Dan terakhir Riana, gadis itu juga tidak hadir.

Pak David meletakkan buku absen ke mejanya ketika Aska muncul memasuki kelas.
"Matras sudah saya tarok ke lapangan, Pak," ujar Aska sembari berjalan menuju kursinya, dengan kebiasaan yang tidak pernah luput, mengunyah permen karet.

"Aska, buang permen karetmu," tegur Pak David melihat Aska yang kesannya tidak sopan karena mengunyah di saat jam pelajaran.

"Kering mulut kalo nggak ngunyah, Pak." Aska duduk di kursinya dengan posisi punggung yang tidak tegak, melainkan setengah berbaring.

"Rambutmu panjang, besok dipotong, ya!" titah Pak David.

Spontan Aska langsung menjadi objek pemandangan seisi kelas.

Mendapat perintah itu, Aska malah cengengesan sementara tangan kanannya mengusap rambut depannya yang memang sudah melewati mata. Jika ia menunduk, rambut lurusnya itu akan maju ke depan dan menutupi area mata.

"Kamu dengar perintah saya?" lanjut Pak David yang merasa dicuekin. "Besok potong rambutmu!"

"Kalau ada waktu, Pak." Aska menjawab dengan malas.

"Aska!" suara Pak David meninggi melihat gaya Aska.

"Ya, Pak?" Aska malah berlagak seolah-olah Pak David sedang memanggilnya secara baik-baik.

"Kalau sampai minggu depan belum dipotong, Saya yang akan menggundulimu."

"Pas. Justru saya menunggu momen itu. Dipotong tukang salon mah udah biasa."

Jawaban itu sontak membuat para cewek ingin mencubit pipi Aska manja. Banyak yang menganggap kenakalan Aska sebagai sikap yang menggemaskan. Apa lagi Aska menjawabnya dengan muka sok tidak berdosa, tetap tersenyum.

Rahang kokoh Pak David sudah mengeras akibat ulah Aska. Bagaimana mungkin Aska takut pada Pak David, sedangkan Pak Toha yang killer tingkat tinggi saja, terkadang sampai jengah menghadapi sikap Aska.

Pak David tidak mau menegur lagi sikap selengekan Aska karena sudah lelah berurusan dengan anak bandel itu.

***

Beby masih mengamati lantai dimana Riana terjatuh. Sampai kini ia tidak habis pikir bagaimana caranya Riana bisa pergi secepat itu. Beby menuruni anak tangga, mengamati sekeliling. Ia tidak menemukan apa-apa. Seluruh lorong, teras, balkon dan sekitar tangga terlihat sepi.

Andai saja terjadi sesuatu yang buruk terhadap Riana, ia akan merasa sangat bersalah karena telah membiarkan Riana merasa kesakitan sendirian tanpa mendapat pertolongan Beby yang saat itu menyaksikan. Beby kembali menaiki anak tangga setelah melihat arloji di tangan. Sepuluh menit telah berlalu sejak bel berbunyi. Ia berlari menyusuri balkon. Melintasi beberapa pintu kelas.

Bruk!

Lagi-lagi ia bertabrakan dengan seseorang tepat di depan pintu kelas yang akan dia masuki.

"Sorry!" Beby mengurai senyum kaku pada sesosok pria yang ditabraknya. Pak David, guru muda itu baru saja melangkah hendak keluar kelas. Tabrakan itu membuatnya merasakan hantaman bagian depan badan Beby.

Pak David menatap Beby dengan pandangan dalam yang sulit dimengerti. Apakah ia sedang marah, kesal, atau heran dengan keterlambatan Beby?

"Suit suiiiit..."

"Cie cieee..."

"Ehemm..."

Anak-anak di dalam kelas malah bersorak-sorai. Menyoraki Beby dan Pak David yang baru saja bertabrakan.

"Kamu telat!" tegas Pak David penuh wibawa.

"Maaf, Pak. Biasa, panggilan alam. Nggak bisa ditunda!" Beby nyengir. Terpaksa berbohong. Ia tersenyum lebar berusaha mencari simpati.

"Letakkan tasmu! Lalu berlarilah keliling lapangan sebanyak lima putaran!" titah Pak David.

Beby meninggikan alis dan terbelalak. "Ya ampun Pak, kok saya dihukum, sih? Namanya juga kebelet, mana mungkin bisa dilawan. Jenderal sekalipun pasti nggak bisa ngelawan yang namanya kebelet."

"Cepat! Saya tunggu di lapangan!" perintahnya lebih tegas dan berhasil membuat Beby patuh.

Beby mengerutkan hidung. Usahanya menampilkan ekspresi paling ramah tidak membuahkan hasil. Pak David tetap tidak mau memahami meski ia memakai alasan paling mendesak sedunia.

Anak-anak berhamburan menuju keluar kelas. Mengikuti Pak David menuju lapangan olah raga.

"Asik nih ye yang ngerasain badan berototnya Pak David!"

"Berasa serrr.. di dada!"

Beby tidak menghiraukan dengungan anak-anak yang keluar kelas melintasinya. Bukan dirinya yang beruntung akibat tabrakan itu, tapi Pak David. Jelas saja, Pak David pasti merasakan buah dadanya yang sedang masa pubertas itu. Sampai sekarang masih nyeri. Langkahnya terhenti ketika ia mendapati sesosok tubuh berdiri menghadang tepat saat ia berada di lorong meja. Ia mengangkat kepala. Aska lagi.

Diiiih... Nih cowok maunya apa, sih? Pikir Beby memasang ekspresi galak meski sesungguhnya hatinya sedikit gentar melihat muka sangar Aska yang seperti siap menelannya mentah-mentah.

Beberapa detik mereka bertukar pandang. Degupan jantung Beby semakin cepat melihat tatapan tajam Aska yang menghunus ke dalam ke matanya. Apa yang akan dilakukan cowok tengil itu? Mau jahil lagi? Masih belum puas bales dendam?

"Lo perlu ini." Aska meletakkan permen karet ke telapak tangan Beby.

Beby mengerutkan dahi heran. Dikira bakalan mendapat semburan pedas, eh malah dapat permen karet. Kemudian ia menggerutu dalam hati. Siapa juga yang butuh permen nggak jelas gini? Sok tau.

"Elo bakalan lelah dengan hukuman yang lo terima nanti. Permen itu cukup membantu." Aska berjalan melewati Beby. Bahunya menyenggol bahu Beby sangat keras hingga membuat tubuh gadis berambut panjang itu terdorong.

"Astaga!" Beby menyentuh bahunya. Sekilas ia mengamati permen karet di tangannya. Lalu memasukkannya ke kantong celana training yang ia kenakan. Ia menoleh ke punggung Aska yang detik berikutnya hilang dari pandangan. Sikap Aska benar-benar membingungkan. Apa sih yang dia mau?

Beby mengedarkan pandangan, baru sadar ternyata Yona, Findy dan Arsy belum keluar kelas. Tiga sahabatnya itu berdiri terpaku menampilkan ekspresi penuh tanya.

"Tu anak emang misterius. Baru aja bersikap ganas, eh sekarang udah sok baik nawarin permen segala. Bukannya kemarin dia marah banget sama Beby?" komentar Findy, heran pada sikap Aska.

"Udah, cuekin aja," celetuk Beby tidak perduli.

Tbc

Hi Beby! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang