04

2.2K 134 14
                                    

Tepat pada saat itu, dari arah belakang muncul Yona dan Findy, mereka saling berkejaran menaiki anak tangga, berebut saling mendahului.  Arsy tergopoh-gopoh mengikuti di belakang.  Ketiganya mengenakan seragam olah raga.  Findy meraih kaos punggung Yona dan menariknya kuat.  Yona menghempaskan tangan agar genggaman Findy di punggungnya terlepas.  Tapi naas, justru sikunya menjotos bahu Riana hingga gadis lemah itu terpeleset lalu jatuh terguling. 

Yona, Findy, dan Arsy bertukar pandang sesaat setelah melihat tubuh Riana terkapar tak bergerak di lantai bawah dengan mata terpejam.  Sementara Beby yang tidak menyadari kejadian di belakang karena terlalu fokus dengan keterlambatannya, tetap melanjutkan langkah.  Hingga sampai di puncak tangga, barulah Beby menoleh.  Merasa bertanya-tanya kenapa gaduh di belakangnya mendadak hening setelah terdengar suara seperti ada yang mengguling bebas.  Sekilas Beby sempat melihat sosok tubuh tergeletak di lantai bawah ketika kakinya tanpa sadar mengikuti Yona yang menarik tangannya.

“Kabuuurrr..!!!” jerit Yona sambil terus menggandeng tangan Beby.

Nyaris seperti terhipnotis, teriakan Yona membuat Beby mempercepat larinya.  Rasa sakit di pergelangan kaki dan pinggangnya seakan terlupakan.

Findy dan Arsy tunggang-langgang mengikuti.  Sesekali mereka menoleh ke belakang.  Suasana sepi  membuat sepatu mereka menimbulkan suara berisik saat mengetuk lantai.

Beby berbelok ke arah belakang sekolah.  Ketiga temannya mengikuti.  Sejenak Beby mengatur nafas.  Membiarkan jantungnya berdegup keras.  Ketiga temannya tak kalah gugup dan bersimbah peluh. 

Sesaat Beby terpaku ketika tersadar sesuatu.  Tunggu dulu, yang terkapar di lantai bawah tadi itu Riana?  Jadi Riana jatuh dari tangga?  Pikir Beby sambil geleng-geleng kepala.
“Udah.  Kita aman!” kata Yona sambil melirik ke kiri kanan.

Tidak pernah sebelumnya mereka setakut itu di sekolah.  Tapi kali ini?  Seperti sedang dikejar perampok.

“Aduuuh... gue keringetan.  Bedak gue luntur, deh.”  Arsy mengibas-ngibaskan tangan ke wajah yang basah dialiri peluh.

“Busyet, parah lo!  Dalam keadaan genting gini masih aja lo mikirin penampilan,” bentak Yona sengit, membuat Arsy langsung terdiam.  Namun tangannya tak henti mengelus-elus pipi.  Tidak rela bedaknya luntur oleh keringat.

Beby terdiam dalam penyesalan.  Menyesal karena telah meninggalkan Riana.

“Itu tadi Riana jatoh dari tangga?” Beby mengedarkan pandangan ke tiga wajah sahabatnya.

Tiga kepala di depannya mengangguk serentak.

“Trus kita malah ninggalin dia?”  Beby merasa sangat tolol dengan apa yang sudah dilakukannya.

“Mau gimana lagi?  Findy tuh yang bikin Riana jatuh,” ucap Yona galak, melirik Findy tajam.

“Kok gue yang disalahin?  Kan elo yang ngejotos badan Riana.”  Findy membela diri.

“Kalo elo nggak narik-narik baju gue, mana mungkin bakal kejadian.”

“Udah.  Jangan berdebat!” Beby menengashi.

“Beb, kita mesti ngelakuin sesuatu sebelum ada yang ngeliat,” tukas Yona. “Buruan kita masuk kelas, jangan sampe ada yang tahu kalo Riana jatuh gara-gara kena senggol.”

“Gila lo!” balas Beby sengit, membuat Yona mengernyitkan dahi.  “Jangan ambil resiko lebih parah dari ini.  Stop ya!  Gue nggak mau ikut-ikutan.”

“Nggak mau ikut-ikutan lo bilang?  Setelah apa yang kita lakukan...”

“Kita?” potong Beby.  “Bukan kita.  Tapi elo.”  Beby menunjuk dada Yona dengan telunjuknya.  Ia menghela nafas.  Mengingat nasib Riana, seakan-akan dirinya menjadi seorang penganiaya.  Jika saja ia yang dikejar-kejar penjahat, mungkin ia tidak akan setakut itu.  Tapi ini masalahnya justru dirinya yang membiarkan seseorang terluka.  Itu sama saja dia bersekongkol mencelakai Riana.  Bagaimana jika Riana tidak bernafas lagi?  Bagaimana jika Riana gagar otak?  Bagaimana jika terjadi hal buruk pada Riana?  Dan ia memilih kabur hanya karena takut menjadi saksi.

“Lah, kok lo nyalahin gue doang?  Findy tuh yang narik-narik baju gue,” pekik Yona tidak mau disalahkan.  “Gue ngajak elo kabur karena gue nggak mau ambil resiko besar.  Elo liat kan Riana tadi nggak bergerak?  Kalo dia sampe kenapa-napa, kita dalam masalah besar.”

“Sekali lagi, bukan kita.  Tapi elo,” pangkas Beby kesal.  Kesal pada diri sendiri kenapa spontan menuruti Yona untuk kabur.  Menyesal kenapa tidak memilih menolong Riana saja.  Ya Tuhan, tidak pernah Beby merasa sebodoh ini dalam hidupnya.  Masih terekam jelas di ingatannya bagaimana Riana terkapar dan tidak bergerak.

Beby berbalik.  Berjalan meninggalkan teman-temannya.

“Kemana lo?” tanya Yona.

Beby tidak menghiraukan teriakan Yona.  Ia berjalan cepat menuju tangga yang ditinggalkan.  Tubuhnya terpaku sejenak melihat lantai di ujung anak tangga, kosong.  Riana sudah tidak ada.  Kemana dia?

Findy dan Arsy tampak ragu-ragu, ingin mengikuti Beby tapi tertahan oleh kebimbangan.  Yona menarik tangan Findy dan Arsy.  Mengajak dua gadis yang saling pandang itu berjalan menuju kelas.  Di sepanjang balkon, mereka melintasi beberapa pintu kelas yang masing-masing kelas sudah diisi oleh guru yang mengajar. 

Beruntung, ketika mereka memasuki kelas, Pak David, guru olah raga yang mengisi jam pertama belum masuk kelas.

Yona berdiri di depan kelas kemudian bertepuk tangan keras-keras, berusaha mengalihkan perhatian anak-anak agar terfokus kepadanya. 

“Helloooow….!” Seru Yona hingga sejurus pandangan terfokus ke arahnya.  “Pak David belum masuk, ya?”

“Udah,” jawab salah seorang.

“Kemana dia?”

“Keluar bentar.  Ngambil buku absen.”

“Itu artinya Pak David belom ngabsen?” muka Yona yang kusut berubah sumringah.

“Belum.”

“Sip.  Gue minta ke kalian, kalo ada yang nanyain siapa yang masuk kelas telat hari ini, kalian wajib jawab nggak ada yang telat masuk.  Ngerti?”

Anak-anak malah pada bengong.  Saling pandang.  Kemudian terdengar suara gemuruh suara saling berembuk yang semakin lama semakin mengeras.

“Tapi kan kalian telat.”

“Bel udah dari tadi bunyinya.”

“Kalian masuk lewat mana?  Nembus dinding pager beton?”

“Nasib baik aja Pak David belum ngabsen.”

“Idiiiih… bawel!” Yona berseru agak keras.  Kesal pada mereka yang berani menjawab.  “Pokoknya, kalian mesti bilang geng BYFA nggak telat masuk.  Awas aja ya kalo ada yang berani ngadu!” pekik Yona keras.  Tatapan tajam dan suara bernada tinggi berhasil membuat anak-anak diam, tidak berani menjawab. 

Sikap otoriter Yona terpancing akibat rasa takut akan nasib Riana.  Jika Riana sadar, lalu gadis itu mengaku terjatuh akibat disenggol olehnya, situasi bisa menjadi runyam.  Andai Riana baik-baik saja, mungkin keadaan akan aman.  Tapi jika Riana patah leher, mungkin masalahnya akan menjadi panjang.  Ia tidak mau semua itu menimpanya, sebab kecelakaan itu terjadi tanpa ada unsur kesengajaan.

Yona menuju kursinya ketika mendengar suara derap langkah sepatu menuju kelas.  Arsy duduk sebangku dengan Yona.  Sementara Findy duduk di kursi depan Arsy.  Findy menoleh ke bangku sampingnya, kosong.  Seharusnya bangku di sebelahnya itu diisi oleh Beby. 


Tbc

Hi Beby! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang