1~Say Hi

434 26 3
                                    


PIECES
°°°

Kehilangan dan melupakan. Bukanlah perkara yang mudah. Terlebih saat kita kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita. Seseorang yang menemani hari-hari kita. Dan seseorang yang selalu membuat kita tertawa.

Baginya, kehilangan sosok itu sama seperti halnya kehilangan separuh hidupnya. Sosok yang selama ini memberikan warna dihidupnya, tiba-tiba saja pergi untuk selama-lamanya saat ia membuka mata. Tak ada lagi warna itu. Tak ada lagi senyum itu.

Merengkuhnya barangkali adalah khayalan. Sebab, ia tak lagi berpijak di sisimu. Kepergiannya mungkin tak berarti, andai saja ia bukan orang yang kau cintai. Saat ia tersenyum, saat ia menatap lembut matamu, saat ia menggenggam erat tanganmu.

Melupakannya tak semudah itu.

Karena bagi seseorang, yang menyakitkan bukanlah karena kematian seseorang itu sendiri, melainkan kematian seseorang yang kita cintai.

Dan kini satu-satunya yang tertinggal hanyalah kenangan yang telah ia ciptakan. Kenangan yang semakin hari akan semakin mengurungnya, membelenggunya dalam sebuah ingatan yang tak akan mungkin bisa ia lupakan.

Dunia Gisya seakan hanya ada warna putih dan abu semenjak kepergian Ditya. Seseorang yang ia tunggu selama ini ternyata tak benar-benar menjadi miliknya. Disaat ia mulai menemukan kebahagiaan itu, ternyata Tuhan lebih dulu mengambilnya. Ia sangat rindu dengannya. Ia berharap waktu akan berbaik hati padanya. Dengan mengembalikan lagi sosok itu dalam kehidupannya.

Ia bukannya ingin mengkhianati takdir. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih belum percaya dengan kepergian Ditya. Ia tak percaya lelaki itu meninggalkannya. Tanpa ada satu pesan pun. Mungkin memang benar, seseorang yang selalu memohon padamu agar tidak pergi biasanya justru ia yang akan lebih dulu meninggalkanmu.

Rasanya begitu berat untuk Gisya, menghitung detik demi detik yang terlewati tanpa kehadiran Ditya. Entah butuh waktu berapa lama bagi Gisya untuk bisa memaafkan kebodohan Ditya yang terlalu menyayanginya.

Gisya menghela nafas. Rasanya masih sama. Ia lelah. Ia lelah merasakan rindu yang tak berbalas. Namun apalagi yang harus ia lakukan selain menjalani yang telah Tuhan gariskan.

Gisya menggigit bibirnya saat ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Dengan gontai ia meninggalkan tempat itu.

***

Gadis itu terlihat terburu-buru. Ia berjalan dengan tangannya terus mengorek-orek isi tasnya. Ia sedang mencari sebuah flashdisk yang berisi file tugas yang harus segera ia kumpulkan. Itu adalah tugas pertamanya, dan ia tak ingin mendapat masalah dengan dosennya karena terlambat mengumpulkan melebihi deadline yang sudah disepakati.

Karena pergerakannya itu, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebuah tabung yang membuat tabung itu terpental beberapa centi sebelum akhirnya berhenti di lantai. Ia segera memungutnya. Namun pergerakannya terhenti saat bukan bukan tabung obat itu yang ia pegang, melainkan sebuah tangan kokoh yang sudah lebih dulu memegang tabung itu. Ia mematung beberapa detik sebelum akhirnya melepas pegangan itu dan beralih pada sepasang mata yang sedang menatapnya hangat.

“Ini punya lo ?” tanyanya dengan suara baritone yang cukup berat.

“I—iya”

Pemuda pemilik tangan kokoh itu lantas tersenyum seraya mengangsurkan tabung obat yang ia pegang pada gadis itu.

“Nih. Lain kali hati-hati ya”

“Makasih” ujar gadis itu.

Setelahnya ia segera berdiri dan diikuti oleh pemuda tadi. Pemuda itu mengangguk dengan senyum yang kembali ia tunjukkan sebelum pemuda itu berbalik, hendak bergabung lagi dengan teman-temannya. Namun sebuah suara kembali menahannya.

PIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang