Maybach Exelero berwarna hitam elegan itu melaju cepat membelah jalan. Alunan musik jazz setia menemani deru mesin. Melewati barisan Pohon Ginkgo, Naruto terus memacu mobilnya.
Jarak dari Gereja menuju pekuburan, terbilang cukup dekat. Hanya menelusuri jalan kecil di belakang Katedral, melewati rentetan Pohon Ginkgo, dan beberapa rumah penduduk.
Tak berapa lama, gerbang bertuliskan 'Grania Cemetery' mulai tampak bentuknya. Menjulang tinggi, dengan ornamen berbentuk bunga. Kedua manik Naruto seketika berbinar mendapati pilar yang berdiri kokoh itu. Diliriknya Hinata sekilas, lantas kembali menatap jalan.
Sebentar lagi, sebentar lagi tubuh molek itu menjadi milikku. Batin Naruto, menjilat bibir bawahnya. Memikirkan kenikmatan yang sebentar lagi didapat, membuat kejantanan Naruto berkedut dan membesar.
"Shit!"
Fokus Naruto sedikit terganggu kala keperkasaanya serasa terjepit di balik celana dalam. Padahal belum diapa-apakan, tapi libido sudah naik memikirkan ketelanjangan Hinata. Sialan memang gadis Hyuuga itu.
Dangan napas berhembus berat, Naruto mencari pengalihan. Volume suara musik sengaja dikeraskan. Sembari mengetuk-ngetuk jemari di kemudi, ia bergumam mengikut alunan melodi.
Dilain pihak, ada Hinata yang sedang terisak lirih. Gadis malang itu menunduk, memelintir ujung gaunnya. Bibir mungilnya sedikit bergetar. Ketakutan akan masa depan, sukses mempengaruhi mental.
Hinata ... sangat ingin pulang ....
***
Disambut berbagai bentuk makam, tak sekalipun menakuti Naruto. Mulai dari yang dihiasi salib sederhana, berbentuk prasasti tegak, dan ada pula yang hanya berbentuk beton rendah berukir nama.
Perlahan, mobil memelan menyusuri jalan bebatuan yang dikhususkan untuk pelayat pengguna kendaraan. Kepala berhias surai blonde Naruto menoleh ke kiri dan kanan, mencari sudut yang dirasa pas serta tersembunyi.
Senyum puas mengurva tatkala sadar bahwa mereka benar-benar hanya berdua diantara deretan pusara. Masih dengan mulut melantunkan lagu berupa gumaman, Naruto memarkir mobilnya di pojokan, tepat di belakang sebuah prasasti lebar dan tinggi. Rimbunan tanaman membantu menyamarkan body mobil dari pandangan. Tanpa mematikan mesin, Naruto menarik napas lega. Setelah itu ia mengubah posisi duduk menghadap sedikit ke samping—tepat ke arah Hinata.
Bersedekap dan menjilat bibir bawah, sikap Naruto tak ubah pisikopat gila mendapat mangsa. Seraya menepuk-nepuk kedua paha, penerus Namikaze Minato itu memanggil sang gadis.
"Kemarilah, Sayang, " serunya.
Gigil tubuh Hinata makin bertambah frekuensinya. Seraya melirik Naruto takut-takut, ia menggeleng sebagai penolakan, dan tanpa sadar menggigit bibir bawah semacam bentuk pelampiasan.
"Tidak mau?" Naruto menebak kala melihat gelengan Hinata. "Baiklah kalau kau tidak mau," memasang pose menyerah, laki-laki itu menghela napas panjang. Raut wajahnya dibuat seperti orang patah hati. Namun belum sempat Hinata menghembuskan napas lega, kedua tangan Naruto bergerak cepat menarik dirinya hingga berpindah di pangkuan si pria.
"Pikirmu aku peduli?" mendesis sedikit terdengar menggeram, Naruto mencekal kedua tangan Hinata kasar, dan kembali berucap gertakan. "Tidak ada yang boleh menolak keinginanku, apalagi oleh perempuan cacat sepertimu," hinanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
Fanfiction[Cover by Nariaki Nishimuraya] Bahagia yang dirasa sang ayah, tidak berniat berbagi pengalaman dengan Hinata. Suci yang selama ini melabelinya, perlahan hilang tergantikan noda hawa nafsu. Lantas, seperti apa ia harus menyikapi buasnya prahara? Naru...