Bagian 2

28 3 0
                                    

I

Pasien B tengah memikirkan cara menciptakan matahari sore itu. Ia berpikir jika matahari yang ada di atasnya akan segera pecah. Dan bila mana hal itu terjadi, sudah jadi tanggungjawabnya untuk menciptakan matahari baru. Akan tapi, ketika dia mulai mencoba untuk berpikir keras, dua orang teman sekamarnya sedang terlibat dalam perdebatan yang cukup sengit. Mereka tak sepenuhnya berdebat, hanya saja sore itu – mereka ada pada kondisi yang secara tidak langsung membuat mereka tampak berdebat. Perlahan mereka mulai bercakap tanpa henti.

Pasien A – "Di luar sana, mereka hendak memintaku untuk menulis sebuah buku!"

Pasien C – "Neraka tengah diciptakan dengan perlahan... di dalam tempat ini...aduuuh"

Pasien A – "Aku tak percaya dengan neraka – hanya ada surga."

Pasien C – "Aku baru saja membaca sebuah buku dari Italia – buku itu tentang tujuh lapis neraka dan surga – barangkali dengan begitu kau bisa berjalan melewati masa depanmu nanti, dari neraka menuju surga!"

Pasien A kembali mengaum – lebih panjang dari sebelumnya – lalu kembali melanjutkan percakapannya dengan pasien C.

"Aku bisa menulisnya sendiri, kau tak perlu memintaku membaca buku apa pun!" bantah pasien A

"Yang benar saja, jika begitu kau baca saja kitab-kitab agama yang ada!" pasien C berdiri lalu menunjuk ke arah langit-langit kamar.

Pasien A melihat ke atas, lalu kembali bertanya, "Apa yang kau tunjuk di atas sana? Tuhan tak ada di atas kita!"

Percakapan mereka terus berlanjut hingga pasien B merasa ingin ikut bergabung dengan mereka berdua. Tapi, dia masih mengamati dan memilih diam. Ia mulai lupa dengan rencana awalnya, matahari akan segera pecah dan ia tak mampu membuat matahari lain sebagai pengganti. Baginya tanggung jawab kadang datang tiba-tiba. Dan sebaliknya, seketika semua itu bisa menghilang dengan sendirinya.

Pagi tadi, pasien B beserta sejumlah pasien lainnya diminta keluar dari kamar untuk berolahraga di lapangan. Saat itu juga, sinar matahari menyentuh kulitnya yang hitam. Dari kejadian itulah, dia mengira jika matahari tak lama lagi akan pecah, "Kulitku hangus...semakin hangus. Eh, matahari ini sudah pecah, dia membakar!" batinnya. Mulai dari pukul delapan hingga sepuluh, mereka berada di lapangan. Beberapa orang hanya berdiri mematung, sesekali ada yang tertawa. Beberapa orang mengejar bola yang disediakan. Beberapa lagi ada yang memeluk dan mencium tiang gawang, ada pula yang menarik jaring-jaring gawang. Dua orang perawat hanya mengamati dari jauh sembari memperhatikan jam di tangannya dan bermain facebook dengan handphone masing-masing.

Pasien B sendiri, memilih duduk sejenak lalu menjatuhkan badannya di atas rumput hijau. Sebisa mungkin, dia mencoba memandangi matahari. Di pikirannya, terlintas nyala api yang membakar segalanya juga senyum Masrah yang menipunya.

II

Pada suatu malam, Arba menemukan dirinya tampak seperti pion putih yang terkurung dalam kotak hitam. Hidupnya. Satu-satunya jalan mengeluarkan pion itu hanyalah dengan menghentikan permainan.

"Apakah hidupku hanyalah permainan?" batinnya

Di depannya, tak ada papan catur yang terbuka. Hanya kepalanya yang menyediakan kotak hitam putih itu. Beserta pion yang tampak seperti dirinya sendiri. Malam itu terasa sangat panjang sekaligus berat bagi Arba. Dirinya kembali teringat akan pesan Intan yang sehari sebelumnya memutuskan untuk menikah dengan pilihan orang tuanya. Intan berpesan, "Apa yang akan dia jalani, adalah keputusan terbaiknya. Tapi kenangan bersamamu selama ini, akan menjadi keputusan paling terbaik di hidupku!"

Tak banyak yang mengetahui hubungan Arba dan Intan. Begitu banyak perempuan yang menganggap Arba aneh, membosankan, tidak menjanjikan, dan berbagai tudingan negatif lainnya – Intan melihat sesuatu yang berbeda dari Arba.

Intan senang bermain catur seperti Arba. Mereka berdua, pertama kali bertemu di sebuah lomba catur tingkat fakultas. Intan berhasil melaju ke babak final mewakili fakultasnya, begitu pun dengan Arba. Betapa terkejutnya Arba, saat melihat lawan terakhir yang harus dia hadapi. Sebelumnya, lawan-lawan yang dikalahkannya dalam lomba, semua berjenis kelamin laki-laki. Dirinya pun tak habis pikir, bahwa perempuan seperti Intan akan menjadi lawannya di puncak pertandingan.

Pertandingan Intan melawan Arba berlangsung cukup lama. Hingga Intan bersuara dan memecah keheningan yang panjang dari pertandingan itu

Intan terus menyerang Arba. Hingga ia mengatakan "Skak..."

Sepanjang lomba ini, Arba tak pernah merasakan perlawanan seperti ini. Arba tertegun. Kesan pertama yang kembali terulang di saat terakhir mereka harus berpisah. Hari itu Arba tertegun, saat mendengar pengakuan Intan. Bahwa dirinya dengan kerelaan yang dimiliki bersedia menerima permintaan kedua orang tuanya untuk menikahi. Setelah nyaris tujuh tahun mereka hidup sebagai sepasang kekasih.

"Intan akan menikah dengan lelaki lain, yang bukan aku!" batin itu terus tumbuh dalam bentuk kecewa dan putus asa dalam diri Arba hingga waktu yang begitu lama. Kembali, Arba mengingat pengakuannya sendiri – orang tua Intan telah berpesan pada dirinya sendiri untuk segera datang melamar Intan sebelum tanggal, bulan, dan tahun yang ditentukan. Hanya saja, permintaan itu tak mampu dipenuhi Arba. Lantaran jumlah uang serta benda yang mesti dia siapkan terlalu memberatkan. Hari ketika waktu yang ditentukan itu tiba, Arba mengurung diri di dalam kamar. Papan caturnya terbalik – pion yang berserakan – lalu suara radio dibesarkan dengan volume begitu keras. Hingga sebuah lagu dari Sheila on 7 mengalun – Dan.

Intan kembali terkenang, Arba memandangi pion-pion yang berhamburan.   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebelum Kita GilaWhere stories live. Discover now