Moza menunduk sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Yang Moza tau, sekarang ia sangat tidak ingin menampakan dirinya di SMA Garuda sejak insiden kemarin. Namun sepertinya keinginannya tidak akan terpenuhi, toh sekarang dia sudah berada di ruangan bimbingan konseling.
"Saya tidak bisa mentoleransi perbuatan anak Ibu dan Bapak yang sudah merusak properti sekolah dan hampir membahayakan seluruh siswa," Pak Yudi menatap Farah dan Bian dengan tatapan serius.
Ketegangan terus bertambah setiap menitnya. Moza sedang berada di kursi panas, seluruh badannya tidak bisa digerakan. Matanya tidak mampu menatap orang-orang di sekelilingnya.
"Apakah anak saya di drop out, Pak? Bu?" Wajah Farah berharap cemas, menatap Bian, Pak Yudi, dan Bu Lastri secara bergantian. Kecuali menatap Moza tentunya, Ibu-nya itu tidak mau bertukar tatap semenjak menceramahinya habis-habisan tadi malam.
Bu Lastri memindahkan tangannya ke atas tangan Farah, mencoba menenangkan orang tua yang berada di sebelahnya itu, "Kami belum bisa membuat keputusan secepat itu, semua panitia pensi harus diperiksa hari ini. Tapi saya bisa menjamin, putri Ibu tidak akan langsung dikeluarkan kecuali ada murid yang terluka kemarin."
Embusan napas lega keluar dari mulut Farah. Kelakuan putri bungsunya ini memang selalu menguji kesabarannya. Tidak sekali ini Moza melakukan hal yang bisa membahayakan nyawanya—dan juga orang lain.
Bian ikut ambil suara karena ia merasa belum puas, "Jadi intinya masih kasus ini masih bisa diselesaikan secara baik-baik?"
Pak Yudi dan Bu Lastri saling bertukar pandang selama tiga detik. Hingga akhirnya mereka mengangguk tanda sepakat.
Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan saling bersalaman, Farah, Bian, dan Moza melangkah keluar.
Sekeluarnya mereka dari ruangan yang Moza anggap sebagai ruang-sidang-hukuman gantungnya-itu, barulah Farah menatap Moza tajam.
"Mulai besok, Mama putus semua akses kamu. Mulai dari kartu ATM, mobil, handphone, dan koneksi internet, semua Mama putus!" Perempuan berambut digulung rapih itu menghembuskan napas kesal. Wajahnya yang biasa terlihat segar dan muda, langsung tergantikan dengan kerutan halus tanda lelah.
Moza baru saja akan membantah saat Farah kembali mencercanya, "No no no! Gak ada bantahan sebelum kamu berubah dan berhenti membuat semua orang disekitar kamu kesusahan. Mama masih gak ngerti kenapa kamu bisa berpikiran untuk membakar sekolah! Seharusnya kamu bisa mengikuti jejak kakak kamu yang terus membanggakan Mama. Tidak melakukan hal seperti ini."
Moza sudah tidak tahan, sudah cukup ia dipermalukan di area sekolahnya, tidak perlu dipermalukan di hadapan orang tuanya.
"Tapi Mama gak ngebiarin Moza ngejelasin, Mama sibuk—"
Farah memijat alisnya perlahan sambil melirik layar ponselnya, "Mama harus balik lagi ke kantor."
Farah melenggang pergi tanpa menyadari bahwa anak bungsunya itu mati-matian menahan tangis. Bian yang masih mematung dan tidak bisa membelanya hanya bisa mengembuskan napas berat. Tangan Bian pun membelai rambut Moza dengan kasih sayang yang tidak bisa ia jabarkan secara blak-blakan.
"Nanti pulangnya jangan malem-malem ya, Papah nanti masakin makanan kesukaan kamu." Papah Moza mengecup keningnya singkat, yang membuat Moza dengan refleks memelutnya erat. Dan menangis tanpa suara.
***
Setelah Moza lumayan tenang dan Bian pergi dari hadapannya, Moza hanya bisa memiliki dua pilihan sekarang. Kabur dari sekolah dan menambah masalah atau menghadapi dunia dengan tidak tau malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Romantics
Teen FictionBukan, ini bukan cerita mengenai relationship goals. Ini hanya kisah tentang pasangan yang paling dibenci dan ditentang di SMA Garuda. Membakar panggung saat acara pensi benar-benar bukan prestasi yang ingin Moza raih di satu tahun pertama ia berada...