3 - Dia, Ladal.

116 26 3
                                    

Tidak ada kesan romantis saat Moza berada di jursi jok belakang motor cowok itu. Ban motor vespa yang kecil, membuat Moza kesulitan untuk menahan kakinya yang terus menerus terpeleset ke jalanan. Rok yang ia kenakan semakin mempersulit kenyamanannya untuk duduk.

Dan cowok di depannya asyik sendiri dengan jalanan yang terlihat lebih menarik dari pada mengajak ngobrol Moza.

Apa jangan-jangan malaikat di depannya ini sudah mengetahui rumor itu? Oh tidak.

Jalanan yang tidak rata dan berbatu membuat Moza berulang kali membenturkan kepalanya ke punggung lelaki yang memboncengnya. Moza tambah meringis.

"Maaf ya, saya lewat jalanan yang jelek. Soalnya kamu gak pakai helm, kalau lewat jalan raya bisa bahaya." Lelaki itu bersuara dengan aksen cadel yang kental. Moza merapatkan tubuhnya untuk mendengar suaranya lebih jelas. Aroma pewangi baju memenuhi ruang pernapasan Moza.

Ya modus dikit bolehlah ya. Moza terkikik geli melihat tingkah lakunya yang diluar kebiasaannya. Mendengar lelaki itu menggunakan bahasa saya-kamu membuat Moza sedikit mengernyit juga.

Moza tersenyum mendengar penuturan lelaki itu, dia peduli! Hari ini sepertinya dia tidak benar-benar sendiri, dan ternyata masih banyak orang yang peduli padanya. Contohnya saja Gea, Pak Ujang, dan—siapa nama lelaki di depannya ini?

"Gue malah bersyukur banget elo mau nganterin. Nama lo siapa?" Moza menatap punggung lelaki itu yang lumayan bidang. Rambut lurus lelaki itu tertutup dengan helm.

"Radar." Radar melafalkan namanya sendiri dengan tidak becus, suara yang terdengar malah 'ladal'. Dan Moza semakin terkikik geli dengan manusia ini.

Radar lalu terdiam. Moza juga ikut terdiam, padahal Moza menunggunya untuk menanyakan namanya. Atau Radar sudah mengetahui namanya?

"Gue Moza..." Moza akhirnya memperkenalkan dirinya sendiri. Kembali ia terdiam karena sepertinya Radar entah tidak mendengar atau tidak peduli. Atau bahkan ia mungkin tidak tau bahwa Moza yang ini adalah Moza yang itu? Moza pusing.

"Di perempatan depan belok mana?" Pertanyaan Radar mengagetkan Moza dari lamunannya.

Tidak mungkin! Sebentar lagi ia akan sampai ke rumahnya. Dan ia tidak ingin terpisah dari Radar. Banyak hal yang ingin ia tanyakan.

"Belok kiri!" Moza memekik terlalu keras sambil menepuk punggung Radar. Selidik punya selidik, perumahan Moza sebenarnya beberapa meter dari belokan kanan. Namun Moza sengaja memutarkan arah.

Saat vespa biru milik Radar berbelok ke arah kiri, Moza tersenyum tipis. Kembali memutar otaknya untuk bertanya.

"Gue kelas 10 IPA 5, lo kelas berapa?"

Radar mencoba menengok ke arah Moza, namun hanya berhasil menengok sedikit.

"Saya kelas 11 IPA 1. Saya kira Moza kelas 12..."

DUAR!

Rasanya Moza kembali dihempaskan ke bumi tanpa parasut. Radar benar-benar cuek dan tidak berperasaan. Moza meringis mendengar pernyataan bahwa dirinya terlihat lebih tua dari umur yang seharusnya...

"Oke..." Hanya itu yang terucap dari bibir Moza yang kelu. Rasanya Moza malas kembali bertanya. Namun, Moza kembali menilai Radar.

Di SMA Garuda, setiap kelas digolongkan ke kelas unggulan dan biasa saja. Dan orang-orang yang berada di kelas IPA 1 atau IPS 1, sudah dipastikan merupakan orang-orang berotak encer. Berbeda jauh dengan Moza yang baru sebentar melihat tulisan langsung pusing.

"Belok mana lagi?"

"Lurus." Moza menjawab asal. Bibirnya mengerucut sambil terus menatap punggung Radar.

Moza tau apa yang akan ia tanyakan selanjutnya akan membuat dirinya semakin terpuruk, namun Moza penasaran. Di dukung oleh komentar Radar yang adem-adem saja, ia kembali memberanikan diri.

Moza menghirup banyak udara, "Menurut lo pensi kemarin itu ancur banget gak sih?"

"Hah?"

"Pensi kemarin gimana menurut lo?" Moza gemas sendiri melihat Radar yang lemot. Ini pertanyaan terakhir, jika menurut Radar pensi kemarin itu benar-benar hancur, Moza akan mem-black list namanya. Jika tidak, sepertinya Moza akan terus mengganggunya.

Motor vespa yang mereka naiki berhenti perlahan, "Saya habis sakit seminggu, jadi saya gak ikut acaranya. Dan ini udah di jalan buntu, rumah kamu di belah mana?"

Gubrak!

Berbicara dengan Radar benar-benar membuat Moza frustasi, namun sedikit terhibur. Dan jalanan di depannya memang buntu. Hanya sebuah tembok besar membentang. Moza pun memberi intruksi kepada Radar untuk memutar arah lalu memberikannya arahan yang benar. Setelah itu ia tertawa terbahak-bahak.

"Jangan gerak-gerak, motornya nanti nabrak pohon!" Radar menepuk bagian perut Moza dan itu semakin membuatnya tergelitik.

"HAHAHAH, KOCAK!! YA TUHAN, RADAR..."

Radar terus berusaha menyeimbangkan motornya, sedangkan Moza terus menerus tidak mau diam.

Bagaimana ia bisa diam jika kelakuan Radar tadi membuat dirinya tertawa sampai sakit perut, dan bagian terpentingnya, Radar tidak tau insiden kemarin. Membuat Moza bisa bertingkah sewajarnya—bahkan mendekati gila di hadapan Radar.

Benar saja, lima detik kemudian motor Radar oleng dan berat ke bagian kanan. Membuat Radar dan juga Moza jatuh dengan kaki terhimpit motor.

Dengan mudahnya, Radar dan Moza kembali bangkit. Sisa tawa masih menghiasi wajah Moza.

"Makasih ya tumpangannya, gue terhibur sumpah." Moza memukul-mukul pelan rok sekolahnya. Debu jalanan yang menempel langsung kembali menyeruak di udara.

Radar mengernyit sambil melirik sikunya yang lecet, namun ia hiraukan.

"Rumah kamu di pohon beringin?" Radar menunjuk pohon dibelakang Moza, lalu mencoba kembali memberdirikan motor vespa-nya. Untung saja motor kesayangannya itu tidak lecet.

Moza menepuk dahinya keras, "Aduh Radar! Lo kok polos banget sih, ya nggaklah! Itu di depan, tinggal jalan dikit."

Mata Moza tertuju kepada lengan Radar yang sedikit lecet.

"Tangan lo," Moza meraih siku Radar dan meniup-niupnya. Tetesan darah keluar dan membuat Moza panik, "Ke rumah gue sekarang! Lo berdarah Radar! Gara-gara gue!"

Radar tersenyum simpul, dua lesung pipit terlihat di kedua pipinya. Untuk sepersekian detik, Moza menatap Radar kagum.

YA TUHAN YA TUHAN! Wajah Moza memanas dan pipinya merona, membuat Radar mengernyit kebingungan dan menarik lengannya menjauh dari Moza.

"Gak usah, saya masih ada les. Saya duluan ya..." Radar kembali menyalakan motornya, memutar motornya ke arah berlawanan, lalu melambaikan tangan.

Kejadian itu berlalu begitu cepat, sampai Moza yang masih tersenyum terpesona itu kehilangan jejak Radar.

"Tapi Radar—" Motor Radar sudah melesat jauh dari pandangan Moza. Dan Moza kembali mengerucutkan bibirnya.

Tekat Moza akhirnya sudah bulat. Radar tidak menghakimi dirinya—atau setidaknya karena dia tidak tau apa yang terjadi. Jadi... mulai besok Moza akan mencari tau mengenai seorang Radar.

Tapi, bagaimana dengan hukumannya?

***

An

Gemes gemes ngangenin Radar tuh :3

New RomanticsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang