4 - Hukuman

102 23 8
                                    

Moza berjalan menuju ruang makan yang sudah diisi oleh Mama dan Papa. Wajahnya masih menunduk dan benar-benar kusut, padahal masih terlampau pagi.

Moza menarik kursi untuk duduk, saat pergerakan Mamanya membuat dirinya terdiam.

Farah berdiri, pandangannya lurus ke arah ponsel yang ia genggam erat, "Mama benar-benar mencabut semua fasilitas kamu, sampai kamu bisa berubah."

Moza menatap Farah tak berdaya. Tanpa Mama-nya mengingatkan pun Moza sudah tau. Hari-harinya pasti akan dipenuhi dengan kesengsaraan sebagai seoorang remaja. Bisakah hidupnya kembali normal?

"Mama gak habis pikir, kamu baru aja membakar panggung! Dan tadi malam mobil kamu harus diderek untuk sampai ke rumah! Moza, kamu pikir Mama punya banyak waktu untuk mengurusi semua kenakalan—"

"Sudah-sudah, nanti kamu bisa telat ke kantor, sayang." Bian mengingatkan, namun matanya enggan menatap Farah yang sedang marah. Bisa kena semprot juga dia.

Farah melotot ke arah Bian, dengan tangan di angkat tinggi-tinggi. Sedetik kemudian wanita berpakaian rapi itu sudah meninggalkan meja makan.

Bibir Moza bergetar, dia tidak sanggup menghadapi cecaran Mamany yang semakin hari semakin pedas.

"Hidup Moza emang nyusahin terus yah, Pah? Gak kayak Cici yang hebat dalam semua hal?" Moza mendorong piring menjauh. Melihat wajah Mama-nya yang kecewa membuat Moza tidak berselera untuk makan.

Papahnya hanya bisa tersenyum melihat putri bungsunya itu tersadar akan kelakuannya, "Mo, liat Papah deh."

Moza menatap Papahnya dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Dengan sigap, tangan Papanya sudah menghapus air mata itu.

"Udah liat, terus kenapa?" Moza semakin memajukan bibirnya, tidak mengerti dengan ucapan Bian.

Bian menunjuk celana selutut yang ia kenakan, "Dua puluh tahun yang lalu, Kakek mikir Papah bakal jadi gelandangan kelas kakap. Dan liat sekarang, Papah jadi pengangguran, lebih baik dari pada gelandangan, kan?" Bian tergelak dengan ucapannya sendiri.

Moza menatap celana yang Bian kenakan. Moza mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

"Papah pengangguran karena Papah pemilik dari swalayan yang udah gak keitung lagi ada berapa, udah tersebar di seluruh Indonesia. Beda sama Moza yang dibenci sama Mama dan gak punya temen." Moza menekankan kata di'benci' dan 'gak punya temen'.

Bian membelai rambut Moza perlahan, "Mo, Mama gak benci sama kamu. Dia khawatir. Papah 'kan termasuk temen kamu juga?"

Moza tidak menjawab. Moza tau apa yang Papahnya katakan memang benar. Tapi Moza masih tidak bisa mengelak jika dirinya benar-benar tidak bisa membanggakan kedua orang tuanya. Setidaknya belum.

"Tapi Cici bisa segalanya..." Moza berkata lirih.

Membayangkan Kakak perempuannya itu hanya membuat luka Moza semakin menganga. Cici berumur dua puluh tahun sekarang, terpaut lebih tua lima tahun dari usia Moza. Tapi dia sudah menggenggam separuh cita-citanya di tangan. Cici itu selalu di anak emaskan. Selain prestasi akademik yang luar biasa baik, Cici hebat dalam olahraga renang. Berbagai kejuaraan telah ia menangkan. Seharusnya ia bisa saja mengikuti lomba renang nasional sekarang, namun ia lebih memilih melanjutkan studinya di Jerman. Mengejar gelar dokter.

"Hey, Mochi itu sudah dua puluh tahun. Dia sudah tau apa yang ingin dia tuju, dan kamu masih punya waktu lima tahun untuk mencari tau apa yang kamu tuju. Sedikit bereksperimen gak akan bikin hidup kamu berakhir." Papahnya menaik-turunkan alisnya.

Moza langsung memeluk Bian dengan erat. Petuah yang Bian katakan selalu bisa membuat dirinya termotivasi, berbeda dengan Mama yang lebih memilih untuk menyalahkannya.

New RomanticsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang