6 - Bendera Perang

91 22 3
                                    

Desiran aneh langsung terasa merambat ke seluruh aliran darah di tubuh Moza. Saat melihat Bu Titin bergerak maju ke depan meja yang Radar duduki, Moza seperti terhipnotis. Ia pun ikut memajukan kakinya mendekat.

"Nak, ini Kakak kelas yang nanti akan membimbing kamu—"

Dengan tidak sopannya, Moza langsung memotong ucapan Bu Titin, "Ibu Titin! Terima kasih banyak, saya pasti mau mengikuti setiap kelas tambahan yang Ibu ajukan. Kami sudah saling mengenal kok Bu, Ibu tidak perlu khawatir." Moza melemparkan senyuman selebar mungkin ke arah Radar.

Radar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat melihat Moza tersenyum genit.

"Kami? Kami siapa?" Seorang perempuan yang duduk di belakang bangku Radar membuyarkan semua fantasi indah yang sedang bergelung di pikiran Moza.

Moza menatap perempuan itu dari atas hingga bawah. Rambutnya terikat secara ketat dengan karet, saking ketatnya rambut yang ia miliki terlihat tidak memiliki anak rambut. Wajahnya tegas dan kaku, seperti jarang sekali tersenyum.

"Wahh, benarkah Manda? Kalian sudah saling kenal?" Bu Titin mengembangkan senyumannya, sambil menepuk bahu Moza tanda senang. Rencana yang ia miliki untuk ke depannya sepertinya akan berjalan lancar.

Moza menautkan kedua alisnya saat Bu Titin menyebut nama perempuan di bangku itu.

"Maksud Ibu, saya sama Radar 'kan? Radar bakal jadi pembimbing saya?" Moza merendahkan suaranya, berharap segerombolan manusia di hadapannya tidak mendengar. Dalam hatinya ia mengelak keras jika pembimbing matematikanya nanti bukan Radar.

Perempuan itu dengan mengejutkannya langsung berdiri, "APA?! Elo? Radar?"

Terlihat sekali Amanda tidak merestui jika Moza akan menghabiskan banyak waktu dengan Radar. Dengan keterkejutan yang sama, Amanda langsung kembali duduk, berusaha sangat keras untuk mengendalikan diri.

"Oh, ternyata ini yang namanya Moza? Biar saya saja yang jadi pembimbingnya Bu." Amanda menyunggingkan senyum palsunya.

Oh sayang, bahkan senyum boneka Barbie pun tidak sepalsu itu. Moza memutarkan bola matanya, lalu membanting bukunya di atas meja yang diduduki Radar.

Bu Titin menganggap pertanyaan perempuan itu sudah cukup menjawab kedekatan mereka.

"Nah kalian ternyata sudah saling mengenal, Ibu duluan ke kantor ya. Bukunya jangan lupa diantarkan kalo kalian sudah selesai mengobrol." Bu Titin dengan polosnya melenggang keluar dari dalam kelas itu. Berjalan seolah tidak ada beban yang ia tanggung.

Moza merutuki kebodohannya menangkap ucapan Bu Titin. Jika bukan Radar, berarti ia akan diajari oleh perempuan ini?! Gaya yang ia kenakan layaknya sekarang tahun 70-an. Moza mencibir dalam hati.

"Hey! Pembimbing resmi gue itu Radar, bukan—" Moza menaikan jari telunjuknya ke arah Amanda, "elo."

Suilan menggoda langsung keluar dari teman sebangku Radar, lelaki itu berambut keriting mendekati kribo.

"Kelas makin terasa panas, bung!" Lelaki itu mengipas-ngipaskan wajahnya dengan salah satu buku yang Moza bawa.

Radar memegang tangan Moza untuk sedikit menenangkan, sentuhan spontan itu malah membuat jantung Moza seratus kali berdetak lebih cepat!

"Pembimbing kamu memang seharusnya Amanda, Mo. Saya sebagai ketua club matematika, mengucapkan selamat bergabung di club!" Bibir Radar mencetak senyuman yang bisa meluluhlantahkan hati siapa saja. Namun, untuk kali ini, Moza terlalu syok untuk menanggapi senyuman berlesung pipit itu.

Kakinya lemas, suaranya bahkan tidak terdengar, "Klub matematika?"

Bayang-bayang Moza memasuki gerbang pintu neraka sudah terlihat jelas, dan rasanya Moza ingin pingsan saja. Apalagi tangan Radar masih memegang tangannya erat.

Kobaran api kecemburuan terlihat jelas di mata Amanda, ia langsung berdiri dan melepaskan genggaman tangan Radar.

"Halo anak baru, tolong jaga jarak dan berlaku sopan ya. Kami semua akan menghargai jika elo mengikuti segala aturan dengan baik!" Amanda tersenyum penah kemenangan. Tangannya ia lipat di depan dada, memberi kesan keangkuhan.

Moza yang terasa terinjak-injak oleh ucapan Amanda langsung kembali bangkit dari pikirannya yang kalut.

"Gue? Anak baru? Mimpi apa gue mau dibimbing sama pembimbing kayak elo! Gue bisa ikut bimbel di luar, gak perlu jasa elo ya sorry!" Moza menatap berang perampuan yang lebih tinggi darinya itu.

Mata mereka saling beradu, membuat Radar dan Gaga saling melirik tidak berani melerai dua harimau yang siap untuk saling menghadang.

"Dar, gue gak ikutan ya." Gaga membisikan kata-kata itu di sela-sela pertarungan sengit di hadapan bangkunya.

"Eh siapa ya yang ngebakar panggung kemarin itu? Moza 'kan ya? Moza dayang-dayang Diandra yang sok ngartis itu?" Amanda berteriak sehingga seluruh murid yang berada di kelas 11 IPA 1 langsung menatap ke arah Moza, penasaran.

Moza tidak bisa tinggal diam, ia memukul keras meja di sampingnya. Hingga telapak tangannya terasa terbakar. Dengan mudahnya ia menyembunyikan kesakitan yang amat sangat itu.

"Heh denger ya! Jangan mentang-mentang sekarang lo berada di istana, elo bisa merendahkan gue seenak jidat! Gue gak takut kalo temen-temen lo ikut ngatain gue, tapi sama aja kayak pengecut! Tuh ambil aja Radar kesayangan lo, tapi inget, jangan takut saingan sama gue!" Moza mengambil buku yang berserakan di atas meja, lalu keluar dari dalam kelas dengan gerakan dramatis.

Seisi kelas melongo menatap ke arah perginya Moza, begitu juga dengan Amanda. Dengan tidak ditampar pun, wajah Amanda berubah merah padam.

Drama singkat itu menuaikan banyak tepuk tangan di seisi kelas yang sedang beristirahat. Sebagian anak yang baru saja membeli makanan di kantin, langsung kepo mengenai keadaan kelas barusan. Bisa jadi gosip terhangat se-SMA Garuda. Karena, kelas unggulan yang terdengar damai dan adem anyem itu langsung porak poranda dengan kunjungan Moza yang bisa dihitung dengan itungan menit.

Amanda menangis tersedu-sedu di bangkunya, teman-teman terdekatnya langsung menghambur menghiburnya. Sesekali mereka mencibir Moza yang sudah berkata seenaknya. Namun ada juga yang menganggap Amanda yang berlebihan.

Radar yang mendengar pernyataan Moza pun masih merasa takjub. Masih tercengang di bangkunya bersama Gaga.

"Dar, buku yang dibawa cewek tadi itu ketinggalan." Gaga memegang salah satu buku yang tadi ia gunakan sebagai kipas.

Radar menatap Gaga tanpa ekspresi, "Terus saya harus mengejar dia, gitu?"

Gaga gereget sendiri, ia ingin menjitak teman sebangkunya itu. Namun niat itu ia urungkan, mengingat isi otak Radar melebihi kapasitas otaknya. Jadi masih berharga.

"Ya iyalah, man! Kan elo yang bikin pertumpahan darah tadi terjadi. Lemot ya lo kalo masalah perasaan orang." Gaga menggeleng tidak percaya, sambil terus memajukan buku tulis yang seharusnya sudah Moza bawa ke ruang guru.

Radar menimbang, namun tendangan Gaga ke kursinya membuat Radar langsung berdiri.

"Terus gue harus ngomong apa?" Radar panik sendiri. Mengingat Moza masih emosi jiwa.

Gaga mendorong temannya itu sampai keluar dari dalam kelas, "Tinggal bilang ini ketinggalan, elah, gak usah mikir pake rumus bisa kali!"

Kepergian Radar dari dalam kelasnya, tidak luput dari pandangan Amanda dengan mata yang masih berair. Hatinya semakin teriris kala mengingat, dirinya juga tersakiti.

***

An

Moza gak sopan banget ya ampun wkwk

New RomanticsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang