BAB 1

102 4 6
                                    

"Selamat pagi, Dimas," sapa Mami dengan tegas. Pagi itu ia sudah berdiri tegak di depan pintu kamar apartemen Dimas sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Ekspresinya terlihat sangat datar, sama seperti biasanya saat ia mengunjungi Dimas tiap Senin pagi.

Ah, iya. Hari itu hari Senin. Mami selalu datang ke sana. Biasanya mau protes.

Sebelum mempersilahkan masuk, Dimas menjawab sapaan Mami. "Oh, Mami. Sudah sarapan? Masuklah," ajak Dimas membalas dengan ekspresi yang sama datarnya. "Kebetulan aku sedang sarapan."

Mami masuk dan melangkah dengan pelan. Kemudian ia melemparkan tasnya ke sofa. Dimas sudah memahami maksud kedatangan Mami, namun ia tidak ingin membuka percakapan yang sama setiap kali bertemu.

"Aku buatin omelet ya," Dimas berjalan ke dapur membelakangi Mami. Tapi sebelum itu, Mami menghentikannya.

"Tidak usah," sahut Mami kelam. "Kamu nggak bosan apa, sarapan dengan omelet setiap hari? Kenapa nggak masak nasi goreng atau apa, kek?" Mami kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa, lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya.

"Aku nggak bisa masak yang lain."

"Hmmhh...." Mami menyeringai tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Kamu nggak bisa masak, tapi nggak ada yang masakin. Kasihan banget," ledek Mami.

Dimas mencoba tetap diam dan kembali ke meja makannya untuk melanjutkan sarapan. Ya, hanya dengan omelet. Lalu apa masalahnya sarapan dengan omelet selama ia menyukainya, pikir Dimas. "Jadi Mami mau sarapan atau nggak nih?" tanya Dimas meyakinkan sambil memotong-motong omeletnya.

Setelah agak lama memandangi ponselnya, Mami kemudian berdiri dari sofa dan menatap Dimas dengan geram. "Kamu tuh, ya, dibilangin nggak pernah ngerti!" Mami bicara meninggikan suaranya .

"Mi..."

"Kapan kamu mau bahagiakan Mami dan Papi? Kamu sudah dewasa!"

"Mami, tolonglah..."

"Nggak, Mami yang harusnya minta tolong sama kamu, Dimas! Papi kamu itu udah nggak kuat lagi. Jangankan buat pergi kerja ke kantornya, buat ke toilet aja harus dibopong dulu. Mau makan disuapin. Mau pup dicebokin. Mau tidur dinyanyiin," celoteh Mami. Tampaknya ia tidak mampu menahan semua hal yang membebaninya dalam minggu-minggu terakhir ini. Mami terus berkicau seperti burung camar. Wajahnya memerah, terlebih lagi ketika ia melihat Dimas tidak memberikan tanggapan sedikitpun. Ia hanya asyik menikmati omeletnya.

Setelah menghabiskan sarapan, Dimas bangkit dari meja makan dan merapikan berkas-berkas di meja kerjanya. Sebelum pergi ke kantor ia terlebih dahulu merapikan kemeja dan mengenakan jasnya yang berwarna hitam. Dimas terlihat sangat tampan seperti biasanya. Dengan rambut hitam yang lurus dan klimis, alis tebal dan mata yang sipit memberikan kesan wajah oriental yang menawan. Ketampanannya juga didukung oleh hidungnya yang mancung sempurna, serta tubuh tinggi yang tegap. Setiap wanita yang memandang langsung bergetar hatinya, tidak peduli jika wanita itu sudah bersuami sekalipun.

Begitu yakin dirinya sudah rapi, Dimas berjalan santai ke arah Mami yang sedari tadi memelototinya. "Terus kenapa kalau Papi disuapin? Dicebokin? Dinyanyiin? Mami capek?" ujar Dimas sambil membetulkan kembali dasinya yang berwarna merah maroon. "Kan ada Mbok Happy," lanjutnya cuek tanpa memandang wajah Mami.

Sontak saja Mami semakin memelototi Dimas dengan bola mata yang nyaris keluar. Ekspresi Mami berubah menjadi lebih menyeramkan. Kalau saja disana ada anak kecil, pasti sudah meraung-raung ketakutan.

"Apa? Mbok Happy? Kamu mau Papi diurusin sama Mbok Happy??! Papi itu suami Mami! Kamu pikir Mami rela Papi kamu dicebokin Mbok Happy?" kedua tangan Mami menempel di pinggangnya.

Maid LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang