Kayra membanting tubuhnya di kasur putih empuk di apartemennya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang juga berwarna putih. Namun tak lama ia segera beranjak ke lemari mengmabil baju ganti. Setelah berganti ia kembali menyusun kegiatan apa lagi yang harus ia selesaikan. Kayra kemudian teringat sampah rumah tangga yang sudah menumpuk lebih dari seminggu. Tak banyak yang ada di sana. Hanya botol dan bungkus-bungkus plastik sisa makanan cepat saji yang sering ia pesan. Ia mengemasi sampah lainnya berniat untuk membuangnya ke tempat sampah yang terletak di lantai satu apartemennya. Kayra membuka pintu apartemennya setelah memakai sandal jepit hitamnya. Di luar ia disambut dengan pemandangan yang cukup mengejutkannya. Sepasang anak sekolah sama seperti dirinya sedang berciuman. Ia sempat bertemu tatap dengan anak laki-laki yang merasakan keberadaan orang di sekitarnya. Kayra berusaha cuek dengan hanya melewati mereka menuju lift di ujung koridor. Ia tidak bisa melihat wajah si cewek karena ia membelakangi Kayra. Namun ia juga tidak penasaran.
Sampai di lantai satu, Kayra dapat melihat betapa teriknya siang itu. Tadinya ia berniat untuk ke minimarket karena ada beberapa hal yang ingin ia beli. Namun melihat keterikan yang ia tahu ia tak akan tahan berjalan ke minimarket, akhirnya ia memutuskan kembali ke kamarnya. Di dalam lift ia teringat kejadian tadi rumah tetangga apartemennya. Ia baru teringat bahwa seragam anak lelaki itu sama dengan seragam yang dikenakannya pagi tadi. Pantas saja ia merasa familiar ketika melihat warna krem seragam yang dikenakannya.
Lift berhenti dilantai 20 tempat rumahnya berada. Ia baru akan keluar ketika sesorang juga kan masuk. Gadis seumuran Kayra yang Kayra dengan cepat menghubungkannya dengan gadis yang tadi berciuman dengan anak itu. Kayra keluar dari lift. Ia sempat meneliti baju seragam anak itu, bukan dari sekolahnya. Ah lagian kenapa ia epo sekali dengan hidup orang. Akhirnya ia berjalan menuju apartemennya yang bernomor 209. Tepat di depan unit apartemen bernomor 205, ia kembali berhenti. Ia tak pernah tahu jika ada anak dari sekolahnya yang juga tinggal di sini. Peduli amat, pikir kayra. Dengan langkah ringan ia meninggalkan pintu apartemen tersebut dengan wajah bergidik karena meengingat apa yang tadi baru saja terjadi.
Komplek apartemennya termasuk mewah bagi anak SMA seukuran Kayra. Tetangganya kebanyakan adalah pasangan muda atau para eksekutif muda yang tinggal sendiri. Jadi dia salah satu penghuni termuda yang berada di komplek apartemen itu. Penghuni termuda yang tenggal sendiri, ralat. Ya dia tinggal sendiri. Ia menerima apartemen ini dari suami baru mamanya itu. Tak sulit baginya yang pengusaha property hanya untuk menyisakan satu unit apartemen untuknya. Meskipun ia membenci setengah mati mama dan keluarga barunya, ia tidak memungkiri bahwa laki-laki itu sudah menyediakan segala kebutuhan bagi Kayra. Sebenarnya ia bisa memilih tinggal dengan ayah kandungnya. Namun tak dilakukannya karena sama saja baginya. Ayahnya juga sudah punya keluarga baru yang tak begitu menyukai keberadaan Kayra. Mereka baik kepada Kayra namun sebenarnya Kayra tahu ada kebeencian di amta mereka setiap ia berkunjung untuk sekedar makan malam karena diundang ayahnya.
Ponsel di meja dapur berbunyi sedari tadi. Kayra meraihnya, membaca nama kontak yang tertera. Darahnya seketika berdesir ketika mengetahui siapa yang meneleponnya. Angkasa.
"Ha.. Halo."ucapnya dengan suara bergetar."
"Berani juga angkat telepon gue akhirnya. Lo ga dateng di gala dinner keluarga kan?"suara Angkasa terdengar congkak seperti biasa. Kayra sedikit lega karena anak itu tidak menumpahkan kemarahannya kali ini. Ia menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Angkasa. Namun sadar anak itu tak bisa melihatnya, ia kemudian menggumamkan kata tidak.
"Bagus deh, males gue liat muka lo. Udah cukup nyokab lo yang macem siluman itu yang nongol. Jangan sampe ditambah anaknya. Gue Cuma mau mastiin." katanya menutup sambungan telepon di antara mereka.
Angkasa Dininta, saudara tirinya, anak dari Andri Dininta, suami baru ibunya, Karina Hadju. Anak itu satu tahun di atas Kayra. Jika sekilas ia melihat anak itu, ia pasti juga akan segera jatuh hati pada Angkasa. Ia tampan, tinggi, terkesan misterius dan tentunya idaman junior di sekolahnya. Namun Kayra tak terpesona sama sekali. Sebaik apa pun Angkasa kepada orang-orang, nyatanya tidak kepadanya. Ia membenci Kayra setengah mati. Benar-benar setengah mati. Anak itu kerap meneleponnya ketika ia ingin marah-marah kepada Karin. Tentu saja Angkasa tak bisa begitu saja memaki ibu tirinya. Alhasil kayra selalu menjadi orang yang Angkasa pilih untuk dimaki. Selain memaki, Angkasa akan meneleponnya untuk hal-hal seperti ini. Memastikan Kayra tak ikut datang di acara keluarga barunya. Entah itu gala dinner atau apa pun yang menampakkan keluarga baru Angkasa. Bahkan tak hanya Angkasa, sejak awal sepertinya mereka -Andri, Karin, Angkasa dan adik-adik Angkasa- juga mengesampingkan Kayra. Terakhir, ia tak diajak ketika mereka photo shoot untuk foto keluarga mereka. Kayra tak cemburu, ia tak merasa perlu berada di antara mereka juga. Namun akibat foto tersebut beredar, ia menjadi perbincangan hangat seperti biasa. Perdebatan terjadi dengan topik mengapa tak Nampak Kayra di foto tersebut. Sekali lagi, dia sudah biasa. Meski sakit hatinya terasa nyata, namun dia sudah terbiasa. See. Tentu saja kejadian sperti ini tak sekali dua kali terjadi di hidupnya. Dan dia sudah biasa.
To be continued..