Dhimas
Herman mengajakku dan Ruben bertemu. Tumben. Orang seperti Herman nggak pernah jadi yang memulai sebuah pembicaraan. Dia suka menganggap diri lebih tinggi dari orang lain. Tapi karena penasaran kami datang juga.
Manusia bejat itu duduk di atas motornya sambil merokok. Dia nyengir melihatku dan Ruben. Aku benci melihat Herman. Dia yang menyebabkan semua permasalahan ini. Dia awal. Dia yang memulai. Kalau ada satu orang yang harus disalahkan atas kematian Dhika, itu Herman.
"Mau apa lo?" tanya Ruben dingin.
Herman menyeringai. "Hei, santai, Ben. Galak amat sih lo. Lagi PMS?" Makhluk bejat itu lalu tertawa. Kupingku panas mendengar tawa itu.
"Nggak usah basa-basi," tandasku. "Lo mau apa?"
"Well," dia melompat turun dari motor, "kita sama-sama tahu KVLR sekarang nggak punya komandan. Gue mau nawarin jabatan itu ke salah satu dari elo."
Aku kaget mendengarnya. Herman mungkin udah gila. Dia tahu persis alasanku dan Ruben meninggalkan KVLR serta apa yang terjadi pada Dhika. Mungkin dia keseringan ngeganja, jadi otaknya udah nggak waras lagi.
"Lo gila," kata Ruben. "Lo udah bakar berapa ganja pagi ini?"
"Gue serius. Gue nggak mau KVLR berhenti gitu aja cuma gara-gara Dhika."
"Cuma?" geramku. "Kematian Dhika bukan masalah sepele."
"Ck, put your past behind you. Dia udah nggak ada. Lo mau apa lagi? Lagian kan posisi itu cuma lo pegang sampai regenerasi."
Ruben menepuk pundakku, menyuruhku tenang. Gila aja, kata itu nggak ada dalam kamusku sekarang ini. Herman benar-benar menyebalkan.
"Kenapa bukan lo aja yang pegang?" tanya Ruben tajam. "Lo kan, yang punya ambisi bikin KVLR ditakuti semua orang. Bukan gue, bukan Dhimas, bukan Dhika."
Herman melengos. "Ah, susah ngomong sama orang bodoh. Denger, gue kan—"
Sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya, aku sudah mencengkeram kerah lehernya. Aku nggak inget lagi soal kekuatan Herman yang melebihi batas wajar anak SMA. Yang kupikirkan hanya Dhika dan bagaimana kematiannya dianggap sepele oleh cowok bangsat itu.
"Lo yang denger. Gue bakal ngehancurin KVLR kebanggaan lo. Gue bakal bales ke elo apa yang udah lo lakuin ke Dhika. You will pay."
Herman menatapku persis di kedua mataku, lalu menyeringai. Aku nggak suka seringai itu. "Game on." Dia mendorongku, lalu pergi. "Game on, Dhim. Kita lihat siapa yang bakal menang."
Ruben mencengkeram bahuku. "Lo ngapain?"
"Ngehancurin KVLR."
Aku berbalik ke arah kantin. Demi Dhika, aku akan melawan Herman dan membubarkan KVLR.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] There's No Tomorrow
Короткий рассказKomandan terakhir Kavaleri; Fight like there's no tomorrow.