Anggita
"Nggit, sini."
Ruben muncul di depan kelas secara tiba-tiba. Pelajaran baru saja berakhir dan Dhimas sudah menghilang entah ke mana sejak izin ke toilet tadi. Aku bergegas pergi ke depan dan menatap Ruben heran. Dulu, dia ke sini cuma untuk cari Dhimas. Sekarang, sejak Dhimas balik lagi ke KVLR, Ruben jadi lebih sering gabung denganku, Ruby, dan Nala. Bima juga jadi sering gabung berhubung dia tidak mau Nala suka lagi sama Ruben.
Ramai, tapi tanpa Dhimas, rasanya tetap sepi.
"Kenapa Ben?"
"Dhimas nitip ini buat elo."
Aku menerima amplop itu darinya. Tulisan Dhimas jelas-jelas tertera di atasnya, membentuk namaku dengan jelas. Aku menyentuhnya dengan perasaan berdebar. Apa yang dia tuliskan di sana?
"Dia bakal baik-baik aja," kata Ruben sambil tersenyum. "Lo tenang aja, oke? Gue bakal mastiin dia balikan lagi sama elo."
Aku hanya tertawa. "Thank you. Tolong jaga dia ya Ben."
"Will do."
Setelah itu dia berbalik pergi. Aku menimbang-nimbang apakah akan membaca pesan itu di kelas atau di tempat lain, tapi kuputuskan untuk membawanya ke mejaku. Kelas sedang sepi karena semua orang keluar untuk jajan. Aku membukanya perlahan.
Aku terperenyak. Dalam sekejap rasa rindu memenuhiku, membuat dadaku terasa sesak. Aku ingin menangis. Aku ingin berlari mencari Dhimas dan memeluknya. Dan aku tahu aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Aku ingin tapi aku tidak bisa. Aku mau tapi aku tidak boleh.
Aku berdiri, menyimpan surat itu di tas, dan langsung ke kamar mandi. Setidaknya, jika aku memang harus menangis, tidak ada yang boleh melihatnya.
Bonus:
Yes that is my crappy handwriting. Gak biasanya nulis capslock semua sih, kenal lowercase kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] There's No Tomorrow
Cerita PendekKomandan terakhir Kavaleri; Fight like there's no tomorrow.