Mentari

42 8 5
                                    

Mentari pagi nampak malu-malu dari balik gumpalan awan di atas sana. Setitik cahayanya menyebar. Menghangatkan diri dalam kehangatan. Memberi pengharapan padaku, saat menunggunya.

Pesan singkat yang ia kirim sudah aku baca tadi pagi. Selepasnya, aku bersorak kegirangan. Melompat-lompat seperti katak dalam air. Coba bayangkan saja, seseorang yang lama aku tunggu memulai semuanya dengan mengajakku berangkat ke sekolah bersama!

Sepeda kayuhku sudah mangkring di halaman rumahnya. Aku menunggunya dalam sandaran kaki yang menumpu pada pagar besi.

Sambil menunggu, aku bersenandung pelan. Berharap kekasih yang lama hilang kembali. Merakit angan jadi satu, lalu mengikatnya.

Lama aku menunggu. Mengais harap pada mentari yang tak lama lagi semakin menyengatkan duka. "Ah, lebih baik aku berangkat lebih dulu," putusku. Kukayuh sepedaku, meninggalkan jejak padanya, yang mungkin tak kan sampai mengejarku.

*

Sebulan ini, aku berangkat sekolah seperti biasanya. Kuhilangkan pengaruh buruk karena pesan singkat darinya. Menghempas jauhkan dalam jurang hitam. Siapa sangka, patah hati bisa membuatku seperti orang linglung seperti ini.

Aku mulai mengayuh sepedaku. Tapi, deringnya kembali terdengar. Membuatku memperlambatnya. Kenapa harus di saat seperti ini?

Coba tengok ke belakang.

"Di, bagaimana bisa?" aku tercekat. Suaraku berhenti di tengah tenggorokan.

Dia, melambaikan tangan kanannya, sedang tangan kirinya menumpu pada tongkat sembari menggenggam ponsel. Kakinya, tak lagi sama.

Mentari, apa ini maksudnya?

-:-

Trenggalek, 2 November 2017 : 2017

Azizah Nurul Azmy

Segenggam CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang