Biasanya, jika hujan, aku dan kakak perempuanku akan sibuk bercengkrama di balik sibakan tirai. Di kamarku, sambil membahas lelucon dan berbagi kejadian yang terjadi di sekolah.
Umur kami tidak terlalu jauh, hanya sejarak dua tahun, menyebabkan kami begitu akrab dan tidak jarang saling meledek tentang anak laki-laki di sekolah.
5 Oktober 2015
Malam ini hujan kembali tiba. Sebelas tahun setelah kami berpisah sebab dibentengi lingkup ruang dan waktu. Ternyata, masa cepat melaju sampai aku lupa menyadari bila saja lingkaran di kalender itu tak nampak di mata.Kadang aku dan kakak lebih rela menghabiskan malam untuk menyaksikan bintang. Terkecuali saat rintik hujan turun dan alam yang semakin menepikan kami ke dalam rumah.
Hari kelahiran kami ada pada tanggal dan bulan yang sama. Karena itu, malam mejelang hari esok, kami akan meluangkan waktu semalaman untuk berdua.
Aku jadi merindukannya. Persilangan pendapat melintas di awang-awang. Disusul memori lain yang mengantri dalam acak puzzle-puzzle berukuran kecil dengan harapan disatukan dalam bentuk utuh.
Keping-keping saat kami menyembunyikan diri dari kemarahan Ibu karena menjatuhkan termos sampai pecah kaca di dalamnya. Saat kami mengendap-endap sambil mencangklong sepatu ketika terlambat pulang. Dan beberapa kenangan lain yang membuatku tersenyum sendirian di kamar.
Hei, aku masih mengingatnya! Satu kenangan lagi yang tak boleh terlupa.
"Kita selalu melakukan apapun bersama, walau tahun yang melewati berbeda, tanggal dan bulan akan tetap menjadi saksi."
Aku mendesah, nampaknya jarak yang memisahkan kami, membuatku tak bisa untuk sekedar menyapanya. Sebentar lagi mungkin panggilan yang menyauti namanku terdengar nyaring di telinga.
"Meridian! Bawa cepat buku pemasukannya!"
Aku menampar pipiku pelan, menyadarkan diri dari lamunan yang membuatku lupa. Kuhadapkan diri pada jendela besar yang menampilkan lalu lalang dari hiruk pikuk kehidupan kota.
"Kak, aku rindu."
5 Oktober 2017
Hari Kamis malam Jumat, sekitar seperdelapan sisa hari, aku sudah keluar dari kantor. Pekerjaan menumpuk telah aku selesaikan, beberapa folder jadwal direktur pun telah aku letakkan rapi di atas meja.Aku menghampiri vespa butut yang terparkir agak jauh dari pintu utama. Sambil mengayun-ayunkan kunci yang menggunakan jari telunjukku sebagai porosnya.
"Mari, Pak," sapaku pada satpam yang bertugas.
"Iya, Mbak Meridian."
Kutarik gas sampai motorku melaju pelan-pelan keluar area kantor. Menengok kanan dan kiriku yang masih diramaikan kendaraan membelah lautan perkotaan. Sayangnya, aku bukanlah si pandai berkelit di jalanan. Apalagi harus mengambil pilihan akhir memutuskan jalan tengah, satu-satunya yang aku jadikan jalan.
Menyadari ada jalan untukku, aku menarik perlahan gas sampai garis di permukaan depan bertutup kaca mulai bergerak.
"Mbak Meridian, ada surat!"
Aku menoleh. Menengok pada satpam yang mengayun-ayunkan secarik surat beramplop putih ke udara. Aku tersenyum.
"Mbak Meridian!"
Ada yang menyenggol badan motorku. Melaju dengan cepat seiring cahaya terang yang menyilaukan mata. Menghantam tubuhku yang ringkih berbalut jaket tebal. Angin berhembus pun menusuk tubuh karenanya. Aku terhempas. Pegangan pada stang terlepas secara paksa. Semakin tinggi aku melayang dengan resiko tinggi pula aku jatuh.
Ini bukan kilasan sederhana tentang kematian. Aku menyadarinya. Wajah kakakku terbayang sedang tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Tapi, aku takut mati.
Langit kembali menangis. Seperti yang lalu, ia kembali.
"Mbak Meridian!"
Belum lagi aku merasakan kaki dan tanganku, aku merasakan cairan merembes di sela-sela rambutku. Banyak orang pula mengerubungiku dan bertanya satu sama lain tentang keadaan seorang gadis yang tergeletak tidak berdaya di pinggir jalan. Tetapi, tak seorang pun membungkuk dan merengkuhku.
"Pak, tolong bacakan suratnya!" ucapku lirih pada satpam yang berhasil mengambil tempat terdepan di hadapanku.
Beliau mengangguk dengan sesekali melirikku dan mencoba meminta persetujuanku untuk menyentuhku, tapi aku menolaknya.
"Pak,"
Beliau tersadar dan mulai menyobek amplop putih yang sedikit berlumur darah segar itu. Tangannya bergetar. Mungkin baru kali ini beliau melihat seseorang yang hampir mati dengan keadaan mengerikan tetapi masih pada pendirian gilanya.
Surabaya, 5 Oktober 2015
Adikku Meridian yang aku sayang.
Bersama surat ini, lampiran bahagia tertulis jelas jika kau masih mengingat momen apa hari ini. Sebungkus kacang dan dua cangkir teh semoga masih bisa kita nikmati, itu harapanku. Tapi takdir seolah telah menjadi titik balik bagi kita.
Aku akan mati. Padahal aku masih ingin melihatmu, tapi aku tak takut. Dua tahun nanti, kau akan menyusulku. Sama seperti yang terjadi padamu malam ini.
Dua tahun, jarak itu seperti takdir.
Jika kau tahu, ulurkan tanganmu dan raih genggamanku.
Jika kau yakin, bangkitlah dan jangan tersenyum ragu.
Jika kau percaya, bisikkan namaku.
Ku ulurkan tangaku. Membiarkan mereka yang melihatku kembali berbisik aneh tentangku. "Kak, Mienda."
Senyum itu kembali. Tawa itu menyeru dalam kegelapan. Tetapi mata itu, terpejam.
:-:
Lama nggak nulis cerpen buat aku sedikit bingung buat nyari ide.
Kalau ada, itu pun berhenti di tengah-tengah.
*Aku menunggu hari esok. Warta yang seperti sosok perindu langit bila ekspektasiku sampai di puncak tertinggi dalam awal mimpi*
Trenggalek, 21 Desember 2017 : 09.13
Azizah Nurul Azmy
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Cahaya
Short StoryDia pun menunjuk langit dengan jarinya, "Lalu, bisakah kau menggenggam cahaya?" "Tidak! Tetapi aku bisa merasakan kehangatan darinya. Jadi, dalam anganku pun, aku bisa!" lantang seseorang dari belakang. Dilepaskannya jubah hitam yang menyelimuti tub...