#Papa Lica

8 1 0
                                    

***

Hanya berjuang, berjuang, berjuang dan berlari.

Dirend.

***

Pagi sekali Dirend telah bersiap ke sekolah. Waktu menunjukkan pukul 05.55. Hari ini jadwalnya adalah menjemput adik kelas sepesialnya. Sekalian cari muka sama camer, ya kan?

"Permisi," katanya sembari mengetuk pintu.

Terlihat seorang wanita yang tidak terlalu muda, juga tidak terlalu tua membukakan pintu. "Ada apa?" tanyanya disertai sebuah senyuman.

"Emmm...baw- eh, Licia ada, tante?" tanyanya gugup.

"Ada, masuk dulu, nak!" ajaknya ramah.

Sambil menunggu Dirend membaca beberapa majalah katalog yang diletakan di bawah meja. Selang beberapa menit muncul Licia bersama laki-laki yang masih muda baginya. Mungkin kakaknya.

"Pa-pagi, Licia, kak." sapa Dirend ramah diikuti senyumnya.

"Pagi." balas Licia dingin.

"Kak?" bingung laki-laki di samping Licia. "Saya papanya Lica."

Mendadak Dirend menjadi salah tingkah. Rasa gugup dan canggung melanda dirinya. "M-maaf, om." lirihnya.

Hal itu membuat papa Licia tertawa. Merasa percaya diri bahwa dirinya masih muda. "Lica," panggilnya. "Papamu masih muda ya?" tanya papanya sambil bergaya sok cool. Licia memutar kedua matanya malas kemudian berjalan keluar menuju garasi.

"Eh, Licia bareng kakak aja!" ajak Dirend. Dia berlari mengejar Licia. Sebelah tangannya mengapai tangan cewek di depannya. "Ayo!" Licia yang malas berdebat hanya bisa pasrah saat ditarik kakak kelasnya itu.

"Sedihnya papamu. Kita terlupakan, huaaaa." sindir papa Licia sok dramatis sambil memeluk tembok.

"Eh, maaf om. Saya berangkat dulu, Licianya berangkat sama saya saja." pamit Dirend.

"Ya udah. Hati-hati ya!"

Dirend menganggukkan kepalanya. Berjalan ke arah motornya sambil mengandeng tangan Licia. Dari pintu rumah, sang papa tersenyum samar. Batinnya berkata bahwa mereka sangat serasi.

Dirend melajukan motornya pelan-pelan. Mengingat waktu hari masih pagi. Sepanjang jalan tidak ada percakapan. Gadis dibelakangnya hanya diam membisu. Sesekali dia melihat dari pantulan kaca spionnya. Terlihat Licia hanya menundukan kepalanya sambil memainkan kukunya. Apakah terjadi sesuatu.

Sesampainya di sekolah ekspresinya masih tak berubah. Masih ditundukkan kepalanya, bedanya dia tidak lagi memainkan kukunya. Sekarang ia memilih memilin bibirnya. Dirend khawatir. Sangat malah. Dia menempelkan punggung tangannya di dahi Licia. Tidak panas. Namun, belum ada 3 detik Licia langsung menepis tangan itu.

"Licia kamu sakit?" tanya Dirend khawatir. Licia tak menjawab malah berjalan menuju kelasnya dan tak mempedulikan apapun.

✿๑✿

Kantin begitu ramai oleh suara kebahagiaan. Namun, berbeda dengan keadaan Licia sekarang, dia sangat takut. Akankah pesan horor semalam itu benar-benar terjadi. Mengambil susu kotak kemasan rasa strawberry kesukaannya dari lemari pendingin, membayarnya dan melangkah kembali ke kelas.

Tepat di depan pintu kaca kantin, 3 orang cewek yang seperti kakak kelasnya menghadang langkahnya.

Siapa? Kenapa malah kaya sekuriti kantin, berdiri di depan pintu kantin kaya gini?

Pikiran Licia menerawang ke pesan tengah malam itu. Ia mulai tahu apa maksud pesan itu. Kakinya terangkat untuk melanjutkan langkahnya. Namun, entah dari mana datangnya sakit di pipinya datang, sebuah tangan itu menamparnya.

Plaaakkkkk!!!

✿๑✿

What the...? 😰

Tolongin Licia woiii 😨

Komennya komennya ayo ayo... 😱😱😱

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DirendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang