Aku merasakan tubuhku menjadi seringan kapas yang apabila ditiup angin akan terombang-ambing kemanapun arah angin itu pergi. Perasaan seperti ini benar-benar asing sekaligus terasa nyaman bagiku. Hingga akhirnya sebuah badai menghantam langsung kearahku dan mendorongku keras kearah belakang yang nampak gelap. Udara yang semakin dingin membuat gigi-gigiku bergemeretuk tanpa ku sadari.
Air mataku mulai meleleh, badanku bergetar hebat merasakan takut yang teramat sangat. Entah takut pada hal apa. Jantungku pun berdebar kencang ikut berpartisipasi dalam campur aduknya perasaan ini.Telapak tanganku terangkat sampai sejajar dengan wajahku. Tidak, bukan aku yang mengangkatnya. Tanganku bergerak sendiri. Tiba-tiba satu cahaya muncul dari garis-garis tanganku, menarik perhatian mataku agar fokus pada cahaya tersebut. Air mataku sudah tidak mengalir lagi, bahkan bekas-bekasnya telah mengering karena angin kencang yang dipanggil badai itu. Dingin sudah tak terasa lagi menyapa kulitku. Cahaya yang keluar dari telapak tangan ku pun hilang entah kemana. Sampai akhirnya kedua kakiku menapak tanah, aku menyadari bahwa aku sudah berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya. Tempat ini tidak terasa asing bagiku dan terasa nyaman, Tidak seperti sebelumnya . Warna jingga pun mendominasi, Sepertinya sedang petang. Tidak. Bukan sepertinya lagi. Ini memang sudah petang. Buktinya di hadapanku sudah tersaji pemandangan matahari tenggelam yang cantik.
--
'Majimak cheorom ma ma majimak cheorom...'
Aku terbangunkan okeh suara Lisa Blackpink dipagi yang cerah ini. Oke abaikan sound yang telah aku setting untuk alarmku. Aku memang pencinta K-POP, tapi tidak sebegitu fanatik seperti sasaeng fans yang pergi kemanapun untuk melihat konser idola kesayangan mereka sampai menguntit idola mereka.
Dengan keadaan yang masih terbaring, aku mengangkat kakiku tinggi-tinggi sebagai peregangan. Entahlah. Sepertinya hal ini memang sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu setiap bangun tidur. Kakiku masih terasa sakit saat digerakkan. Masih ingat kan, dengan kejadian yang menimpaku kemarin? Dan dampaknya sampai saat ini masih terasa. Dan sialnya lagi, hari ini aku harus menuruni setidaknya 30 anak tangga untuk sampai ke lantai satu. Jika kemarin papa akan dengan senang hati menggedongku yang sedang tidak berdaya, jangan harap pagi ini papa akan kembali menggendongku. Kemarin saja papa sudah mengeluh sakit dan menempelkan banyak koyo dipinggangnya. Well dan disaat seperti ini sepertinya akan sangat menyenangkan jika di rumahku dibuatkan lift. Tapi aku tahu itu tidak mungkin.
Aku sudah siap dengan seragam lengkapku. Tak lupa juga persyaratan untuk Ospek yang paling aku utamakan. Tentu saja aku tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali untuk kedua kalinya. Aku kapok.
"Name tag, syal kelompok, materi presentasi, buku untuk menampung tanda tangan panitia dan petinggi ekstra kulikuler. Oke, semuanya udah lengkap."
Aku segera memasukan semuanya kedalam sebuah ransel hitam berukuran sedang."Loh kak?" Itu suara mama. Mama sedang berdiri diambang pintu kamarku. Tentu saja secara otomatis aku menengok kearahnya dengan alis terangkat.
"Emangnya kamu udah sehat?" Tanya mama dengan nada khawatir.
"Iya ma. Lagian kalau dua kali absen, tahun depan aku harus ikut lagi Ospek." Ucapku sambil merapikan rambut. Perlahan mama menghampiriku dan mengambil alih rambutku. Mama mulai mengikatnya dengan rapi.
"Yaudah. Sarapan dulu." Kemudian mama meninggalkan kamar. Sepertinya mama mau membangunkan kak Syahril yang kamarnya tepat di samping kamarku.
--
"Ril. Bangun, emangnya kamu ngga kuliah?!" Mama mulai meninggikan suaranya beberapa oktaf.
"Hmmm. Siang." Aku sangat yakin. Kak Syahril pasti masih memeluk guling kesayangannya yang sudah buluk itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
dignity
Non-Fictionmenceritakan tentang masa-masa SMA yang nano-nano (rame rasanya). dimulai dari ospek yang penuh adrenalin dan akhir yang masih menjadi rahasia. jadi tunggu terus update dignity ya. with love 'MNZ