2. Depression

23.8K 2.3K 513
                                    

***

Tangannya bergerak teratur membentuk sebuah lingkaran di atas bibir gelas. Senyuman tipis yang memiliki pancaran kesakitan di dalamnya merekah meski ia tidak yakin kenapa ia bisa tersenyum saat ini. Matanya sibuk memandangi cangkir berisikan Mocachino miliknya yang sudah tidak lagi hangat sejak beberapa menit yang lalu.

Pandangan seorang gadis di depannya tidak mampu mengganggu lamunannya saat ini. Namun itu juga karena mereka hanya diam sejak gadis bernama Wendy itu menanyakan pertanyaan yang paling ia benci di dunia ini. Irene. Gadis dengan kemeja berwarna putih itu seperti kehilangan suaranya.

"Eonnie. Maafkan aku jika menyinggung perasaanmu." Wendy berucap lembut sambil menggenggam jemari Irene. Meremasnya lembut seperti menyesal sudah menanyakan pertanyaan bodoh sebelumnya. Perlahan, pandangan Irene mulai terangkat menatap pada Wendy. Gadis Bae itu tersenyum seperti tidak mempermasalahkannya sama sekali.

"Tidak apa. Aku tidak marah Wen." Irene menjawab seadanya. Jujur, memang ia tidak marah. Hanya saja untuk menjawab pertanyaan Wendy tadi membuat hatinya serasa tidak sanggup, "Aku mencintainya. Itu yang bisa kuberitahu padamu." Irene menghela nafasnya dan menyerutput Mohcachino-nya yang sudah dingin, "Tapi Suho oppa sering menyakitimu." Wendy dengan bodohnya mengatakan hal itu lagi.

Irene memalingkan pandangannya ke arah luar. Menatapi jalanan kota Seoul yang sedikit sepi di sore hari. Beberapa kendaraan dan pejalan kaki tidak luput dari pandangan gadis Bae itu. Layaknya ia sedang mengabsen siapa saja pengguna jalan sore ini, "Aku tahu. Tapi, bagaimana jika kau di posisiku?" Irene menatap Wendy sejenak dengan wajah penuh pertanyaan.

Wendy menggigit bibir bawahnya. Rasa bersalah kembali hadir di pikirannya. Kenapa semenjak hamil ia tidak pernah menyaring perkataannya dulu baru diucapkan? Pasti Irene tersinggung dengan ucapannya barusan. Wendy bodoh! Jika Chanyeol tahu, ia pasti akan sangat marah padamu. Batin gadis Park itu merutuki kebodohannya.

"Maaf eonnie. Mulutku tidak terkontrol sejak kehamilanku." Wendy menghela nafasnya sambil meneguk Vanilla latte miliknya. Irene tertawa kecil dan mengangguk seadanya, "Aku paham. Tidak usah dipikirkan." Irene berujar lembut membuat Wendy lega mendengarnya. Namun baru beberapa detik tersenyum, Wendy kembali berwajah serius dikala menatap sudut bibir Irene yang sedikit terluka. Meski sudah kering, tetap saja Wendy khawatir dengan itu.

"Bibirmu kenapa?" tanya Wendy membuat Irene memegang sudut bibirnya sendiri. Irene menggeleng pelan berusaha menutupi sesuatu dari Wendy, "Bukan apa-apa." Ucap Irene cepat. Dalam hatinya semoga Wendy tidak bertanya lebih jauh, "Eonnie jangan bohong -"

"Sayang?" Wendy yang belum menyelesaikan ucapannya sedikit diganggu oleh kehadiran pria jangkung yang baru saja datang menjemputnya, "Huh. Kenapa datangnya cepat sekali sih? Aku kan belum mengirim pesan Yeolie!" Wendy berucap sambil mengerecutkan bibirnya lucu. Irene hanya tertawa menggelengkan kepalanya melihat tingkah menggemaskan gadis yang sudah ia anggap adik sendiri itu.

"Aku harus menjemput Yoora noona di bandara. Kau ingat?" Chanyeol menunjukkan jam tangannya pada Wendy. Dan istri Chanyeol itu langsung menepuk keningnya, "Ah, aku lupa lagi. Baiklah, eonnie aku pergi dulu ya? Sampai bertemu lagi." Wendy tersenyum sambil melambaikan tangannya. Irene hanya mengangguk sambil melihat Chanyeol yang dengan siaga menggandeng tangan Wendy dan membawakan tas istrinya. Melayani Wendy layaknya gadis itu seorang putri raja.

Bahkan Chanyeol melindungi kepala Wendy saat gadis itu ingin keluar dari pintu café dan saat memasuki mobil. Sangat romantis dan harmonis. Cemburu? Ah, bahkan jika ada yang lebih dari kata cemburu, maka Irene akan dengan senang hati menyandang makna itu. Ia sangat, teramat sangat dibakar api cemburu melihat kebersamaan Chanyeol dan Wendy. Pasangan suami dan istri yang kelewat romantis baginya.

• Fake Wedding | Surene ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang