Buku

522 14 2
                                    

Kupinjam buku ini kala daun jati mulai berguguran.
Membacanya berulang kali tanpa pernah bosan.
Lalu, suatu hari,
Kala sedang kubaca buku ini ditaman kota bertemankan senja yang hampir usai, kau datang mendatangiku-meski tanpa kusadari kapan kau sudah berada di sampingku?

'Kau menyukai bukunya?'
Tanyamu waktu itu.

Aku ingat sekali waktu itu. Saat dengan malasnya ku anggukkan kepalaku buat sekedar menjawab pertanyaanmu. Kukira kau akan berhenti bicara saat hanya anggukan sebagai jawab yang kuberikan

'Menurutmu, mengapa si penulis menuliskan Kau dan aku...
Cuma sebatas melankoni dan ironi yang tak berujung pada akhir syairnya?'

Aku mendongak. Menatapmu tak percaya. Setelah itu aku tau. Aku mulai tertarik mengikuti pembicaraanmu. Lalu, kututup halaman buku ini. Menyimpannya diatas pangkuan.

'Karena nyatanya melankoni dan ironi memang susah sekali diakhiri' Jawabku datar.

Kau tersenyum kala itu. Perlahan kedua bola matamu menatap jauh cakrawala. Seolah merasai angin yang berhembus kering senja itu.

'Bukankah ironi dan melankoni hampir mirip? Tragedi dan lantunan yang menyayat hati? Mungkinkah si penulis ingin mengatakan sedikit persamaan antara sebuah tragedi dan lantunan melodi yang menyayat hati?'

Aku diam. Menunggumu kembali bersuara.

Kau kembali menghembuskan nafas pelan. Sebuah senyum hangat terukir diwajahmu.

'Sudah saatnya aku pergi. Terimakasih, tadi diskusi yang sangat menarik' Katamu akhirnya sebelum bangkit dan beranjak pergi.

Aku diam. Kembali menatap buku dipangkuan.
Kau benar.
Antara ironi dan melankoni, nyatanya bukankah dua kata itu sedikit memiliki kemiripan?
Kemiripan yang sama-sama menghadirkan lara.



Salam Hanga
Ken Auliya

Coretan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang