We're Too Similar

96 10 4
                                    

"Aku pengennya bahas tentang gerhana."

"Deadline tugasnya awal bulan depan, dan sepanjang bulan ini nggak akan ada gerhana."

"Kita kan bisa riset dari buku atau internet gitu, kan nggak harus ngeliat langsung."

"Tapi kan tujuan tugasnya itu biar kita bisa tau secara langsung."

"Terserah, deh ah. Pokoknya aku maunya gerhana."

Gadis itu menghentakkan kakinya. Wajahnya merah padam. Dia memalingkan muka dari makhluk di depannya, memilih menatapi jendela ynag basah karena air hujan. Sekarang, rasanya suara hujan jauh lebih indah daripada suara Windu yang merupakan vokalis band akustik.

"Raina, mendingan kita buat yang simple aja, tapi membahas sisi yang berbeda."

"Apa contohnya, Ndu? Kamu mau bahas kenapa matahari terbit dari timur dan bukannya dari barat? Mau bahas kenapa cuaca waktu musim hujan itu berhujan? Atau--"

"Aku mau bahas kenapa kadang-kadang bulan masih bisa kelihatan waktu pagi. Atau kenapa Jakarta selalu banjir."

Raina cemberut. Kekesalannya memuncak. "Windu... Nggak ada yang lebih klise lagi apa?"

"Terus kamu maunya apa?" Windu juga terlihat mulai kesal. Matahari sudah lama tenggelam, dan Raina masih saja ngotot dengan tema "gerhana" untuk tulisan ilmiah mereka.

Pak Rantau menyuruh mereka membuat esai tentang fenomena alam secara berpasangan. Tentu saja Windu berpasangan dengan Raina, memangnya siapa yang tidak mau mengerjakan tugas kelompok dengan kekasihnya sendiri?

Tapi inilah susahnya berpasangan dengan Raina. Gadis itu sangat keras kepala. Dan ingin semua keinginannya terpenuhi.

Tugas ini harus dilakukan dengan riset secara langsung, begitu kata Pak Rantau tadi. Cukup jelas. Tapi Raina, dengan obsesinya terhadap gerhana, ngotot ingin mengangkat topik itu.

"Ih, kan aku udah bilang, aku maunya gerhana. Nggak denger ya dari tadi?"

"Rai, Pak Rantau udah bilang kalo kita harus mengamati secara langsung."

"Tapi kan kita bisa ngamatin fotonya aja. Atau kalo perlu, kita riset tentang gerhana bulan penumbral aja!"

Kekesalan Windu benar-benar memuncak. "Terserah mau kamu apa! Riset sendiri sana tentang gerhana, terus biar aku yang ngerjain laporannya."

Dia berbalik, berjaan cepat menuju pintu keluar kelas, tidak peduli dengan hujan yang masih turun dengan lebatnya.

Dia memegang kenop pintu. Kilat menyambar tanpa suara. Seketika itu juga, listrik padam. Dari belakangnya, Raina memekik pelan. Ruang kelas tempat mereka berdiri gelap total. Bahkan, satu sekolah gelap total.

Andai saja tadi dia tidak menuruti Raina untuk menunggu hujan reda terlebih dahulu sebelum pulang.

"Windu..." suara Raina lirih, terdengar ketakutan. "Jangan pergi dulu."

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekatinya. Windu tahu itu pasti Raina. Gadis itu takut setengah mati dengan kegelapan.

Yah, lagipula siapa lagi yang ada di dalam ruangan ini selain dirinya dan Raina?

"Kamu dimana?" suara Raina bergetar. Amarah Windu runtuh. Dia menghela napas pelan, lalu berbalik, berusaha mengenali siluet Raina di tengah kegelapan.

Astaga, dia benar-benar gila karena bisa jatuh cinta pada gadis yang begitu arogan dan keras kepala seperti Raina.

Windu berjalan mendekati Raina. Kilat kembali menyambar, menerangi dunia untuk sepersekan detik. Meski sempat terkesiap sedikit, Raina bisa mengendalikan dirinya. Sekarang, Raina tahu kemana harus berjalan.

Tangan Windu menarik tangannya, mendekatkan diinya pada Windu.

Tiba-tiba, petir menyambar. Suaranya memecah suara hujan lebat yang disertai angin. Kilatannya membelah udara malam. Raina memekik keras, terlompat pada Windu, jatuh ke pelukannya.

Jantungnya berdebar-debar, napasnya tersengal. Dia sungguh bersyukur karena yang ada di dekatnya sekarang adalah Windu. Pemuda itu membelai kepalanya, mengirimkan ketenangan pada dirinya.

Mereka berdua, tanpa sadar, memikirkan hal yang sama. Hujan ini begitu lebat, disertai angin yang sangat kencang. Udaranya dingin meskipun tidak begitu kentara. Dan jangan lupakan petir dan kilat.

Hujan ini lengkap, bahkan mungkin bisa disebut badai. Paket komplit. Fenomena alam yang sempurna.

Tersentak, mereka melepaskan satu sama lain. Mata mereka membelalak sempurna dengan binar kesenangan. "Storm!"

Mereka melupakan pertengkaran mereka. Bahkan Raina melupakan keinginannya mengobservasi gerhana.

Mereka segera mengeluarkan ponsel mereka, kemudian mulai memotret badai sempurna yang sedang terjadi melalui kaca jendela.

When The Rain Meet The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang