3

20 2 0
                                    


"I keep myself busy with things to do, but everytime pause, I still think of you"

-------------

Cetta's POV

Aku baru saja selesai ganti baju, kata Caca nanti bisa masuk angin kalau memakai baju yang basah. Awalnya aku mengabaikan omongannya, tetapi ia mendorongku agar masuk ke kamar untuk ganti baju. Alhasil, aku pun menurutinya. Aku langsung pergi ke balkon, dimana dia masih menungguku. Caca masih saja menatap lurus dengan tatapannya yang kosong, padahal kalau setan lewat itu bahaya. Aku pun duduk di sebelahnya, ia menyadari kehadiranku di sebelahnya.

"Sekarang lo yang cerita bang, gantian" ucapnya, aku menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Ceritain tentang lo sama Rachel," lanjutnya untuk memperjelas apa maksud perkataannya tadi. Aku menghempaskan diriku ke belakang, untungnya kursi ini ada bantalnya. Setidaknya, tulangku tidak sakit – sakit karena kursi kayu ini.

"Lo kan udah tau ceritanya dari sahabat – sahabat gue, Ca"

"Tapi kan itu masih simpang siur, jadi gue pengen taunya dari lo, bang"

"Jadi, selama ini lo gak percaya sama perkataan temen – temen gue, Ca?" tanyaku, ia mengangguk. Aku terdiam. Selama ini, aku kira ia percaya – percaya saja dengan perkataan George dan Edward, tapi dugaanku salah. Ia tidak pernah percaya dengan semua itu. Ia hanya percaya dengan perkataan yang keluar dari mulutku secara langsung.

"Makanya sekarang ceritain ke gue," ucapnya. Aku terdiam sejenak, aku pun mengikutinya yaitu menatap lurus seolah – olah di depanku ada sesuatu yang sangat indah. Kami memang menatap lurus, tapi pikiran kami berbeda. Pikiranku berada di utara, pikiran Caca berada di timur.

"Lo yakin mau denger ceritanya?" tanyaku, dia mengangguk dengan semangat. Aku tidak habis pikir, kenapa ia masih ingin mendengar hal itu padahal itu sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu.

"Jangan deh, nanti kepala lo sakit kalo denger cerita gue," ucapku, Caca mendekat padaku, aku kira ia akan mengucapkan kalimat yang hangat ataupun tindakan yang baik. Itu salah, Caca mendekat karena ingin mencubit perutku. Astaga, mengapa Nathan menyukainya?

"Aw!" ucapku, aku meringis kesakitan. Sedangkan, Caca hanya menatapku dengan tajam seolah – olah ia ingin mencaci makiku sekarang ini. Sepertinya, ini memang sudah saatnya ia mengetahui luka – lukaku, luka yang membekas dihatiku hingga sekarang.

"Jadi, pas dulu itu-"

"Cetta, Gema, mama pulang!" teriak mamaku dari garasi, kami berdua spontan menengok ke arah garasi secara bersamaan. Aku berterimakasih kepada mama karena sudah menyelamatkanku dari situasi ini, aku tersenyum dengan bangga.

"Kenapa mama pulang cepet hari ini?" tanyanya dengan lesu, aku yakin ia kecewa karena tidak jadi mendengar ceritaku dengan Rachel. Aku mengacak – acak rambutnya, "kapan – kapan gue ceritain, tenang aja" ucapku lalu dia pun meninggalkanku sendirian di balkon. Ia pergi ke kamarnya tanpa berbicara denganku, lagi. Aku duduk dengan santai di balkon ditemani oleh ponselku ini, aku bersiul – siul dengan riang. Mungkin, karena aku tidak perlu mengulang cerita yang membuatku terluka. Aku mendengar pintu kamar Caca terbuka, mungkin dia ingin kebawah ataupun ke kamarku lagi.

"MAMA, ABANG BALIKAN SAMA RACHEL!"

Aku memejamkan mataku sejenak. Aku mengusap wajahku dengan kasar, aku tidak bisa tenang. Mama mengetahui segala tentangku dengan Rache. Dugaanku salah. Caca membuka pintu kamarnya hanya untuk berteriak kalimat itu. Aku pun langsung bangkit berdiri dan keluar dari kamar, aku melihat mamaku yang sudah berdiri di depan pintu kamarku.

My Step BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang