Baca sambil denger mulmed. Gak nyambung mungkin sama partnya tapi suka aja. Enjoy it
***
Terhitung sudah tiga hari sejak insiden di tempat belanja itu dan efeknya masih terlalu besar untuk Seza hingga hari ini. Apa-apa yang dilakukan Seza terasa memuakkan, bahkan datang ke sekolah saja ia enggan. Kalau bukan Ibu dan Tiara yang memaksanya untuk ke sekolah, perempuan tak ingin pergi dan memilih diam di kamar sampai waktu yang tidak ditentukan.Soal ini Tiara jelas tahu, sebab mereka di mobil waktu itu sama-sama menangis. Mungkin ada satu jam mereka menepi lantaran Seza masih melanjutkan tangisnya. Tiara sebagai kakak hanya dapat mengelus punggung adiknya tanpa berkata banyak, karena mereka sama-sama sakit hati, meski Tiara tahu kalau Seza lebih parah darinya.
Sebagai anak bungsu dan terlahir tiga tahun setelah Tiara membuat Seza sangat lengket kepada Ayahnya ketimbang Ibunya. Lain halnya dengan Tiara yang lebih ke Ibu. Meski begitu, bukan berarti mereka membanding-bandingkan Ayah dan Ibunya, tidak, tidak sama sekali. Bagi mereka berdua, baik Ayah dan Ibu sama-sama harta berharga untuk hidup mereka.
Oh, iya. Sebenarnya Seza punya kakak laki-laki juga dan sudah menikah, memiliki putra kecil yang keriting. Sayang, kakak pertamanya tak lagi tinggal bersama mereka. Satria--kakaknya--memilih tinggal bersama istri juga anaknya di Makassar lantaran tuntutan pekerjaan. Tapi, mereka biasa pulang dua bulan sekali dan saat hari raya tentunya.
Di saat seperti ini, Seza memilih diam di kelas. Nana sudah ke kantin lima menit yang lalu lantaran ia sudah tak tahan dengan nyeri perutnya sebab maag yang ia punya. Seza menolak diajak dengan alasan malas. Akhirnya Nana pergi ke kantin dengan Gia.
Kalau biasanya Seza akan ke kelas Albas dan mengajak laki-laki ke kantin. Tapi, ini hari pertama Albas absen dalam proses KBM lantaran harus mengikuti lomba dengan tim futsalnya ke Surabaya. Terakhir, Albas bilang akan seminggu berada di Surabaya. Orang terakhir yang ia harap dapat membuatnya lebih baikan nyatanya tak ada saat ia sedang terpuruk seperti ini.
Kalau begini Seza benar-benar ingin menghilang dari bumi atau paling tidak berjelajah ke dimensi lain.
Ya, setidaknya kenyataan itu tak terlalu membayanginya
Seza melipat tangannya di meja, memajukan tubuhnya hingga menyentuh meja. Kepalanya ia tenggelamkan dalam lipatan tangan dan mulai memejamkan mata.
Sekelebat banyangan berseliweran.
Lagi.
Semakin banyak.
Dan, Seza mengangkat wajahnya dengan sedikit peluh menetes lewat pelipisnya.
Aneh.
Banyangan itu begitu nyata dan yang menbuatya aneh adalah Seza ada di sana tanpa pernah berada pada situasi itu. Juga, orang-orang yang ia tak kenal.
Begitu nyata sampai Seza mengerjapkan matanya demi memastikan papan tulis yang berisi rumu-rumus kimia masih sama sejak terakhir Bu Kaila menuliskannya.
Ia mendesah lega.
Masih sama, dan ia masih berada di tempat yang sama. Tapi, tunggu ....
Suara gitar yang dipetik juga lantunan suara yang ikut melengkapi begitu asing di telinga Seza. Bukan apanya, tak pernah ada yang membawa gitar ke sekolah kalau ada palingan pas pelajarn seni budaya, itupun gitar dari sekolah.
Seza memutar kepalanya dan detik itu juga matanya melotot tak percaya.
Apa-apaan ini!
Mereka itu semua siapa?
Dua, tiga, lima. Ya, ada lima anak laki-laki yang tengah tertawa-tawa di selingin genjrengan gitar. Dan ... kenapa bisa mereka ada di sini? Di kelasnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Past and Future
FantasyTentang dia dari masa lalu dan hadir di masa depan|| Copyright 2017