Bian Arya Danu

306 40 49
                                    

Beberapa perawat berusaha menenangkan seorang wanita yang menangis berteriak-teriak sambil menepuk dadanya. Jeritnya memenuhi ruangan USG suatu rumah sakit. Tiba-tiba seorang pria masuk tergopoh-gopoh. "Ada apa?" tanyanya. Wanita itu melihatnya, matanya merah dan air mata seakan tak mau berhenti dari matanya.

Lelaki itu langsung memeluknya. Dia biarkan wanita yang merupakan istrinya memeluknya, menangis dalam pelukannya dan meraung-raung penuh nestapa. Mata lelaki itu melihat layar USG di depannya. Dokter yang sedari tadi hanya diam mulai menghampiri pasangan tersebut. "Kali ini gagal lagi ya, Dok?"

Tak butuh jawaban, dari raut wajah Dokter, lelaki itu langsung tau. Lelaki itu pun ikut tak kuasa menahan air matanya.

Melissa terbangun dari tidur singkatnya, dia meraba perutnya, usia kehamilannya sudah sepuluh minggu. Bisa dia ingat bagaimana jari mungil janinnya mulai tumbuh, meraih-raih dan berenang dalam rahimnya. Bakal gigi, rahang serta daun telinganya juga mulai terlihat. Entah mengapa wanita itu kembali menangis lagi, dia melihat suaminya tengah tertidur di sofa rumah sakit, dan hatinya kembali merintih.

Bagi seorang ibu, anak adalah satu kesatuan, baik tubuh dan jiwanya. Seorang wanita menjadi seorang ibu saat pertama ada nyawa di dalam perutnya. Ah tidak, tapi seorang wanita menjadi seorang ibu saat pertama dia mulai berusaha untuk memiliki seorang anak. Dan Melissa menjadi seorang ibu saat dia memasuki ruangan perawatan kemandulan.

Bisa dia ingat bagaimana hari-hari yang dijalani kala itu. Bagaimana dia harus menahan sakit fisik karena selang-selang yang masuk ke dalam rahimnya untuk kepentingan rontgen. Bagaimana darahnya diambil berulang kali untuk keperluan laboratorium. Bagaimana cairan masuk ke dalam tubuhnya dan membuatnya merintih kesakitan. Tidak hanya fisik, hatinya ikut merintih saat bagaimana Dokter memberi tahu hasil rontgen bahwa tuba fallopinya tersumbat—masalah utama dirinya sulit hamil.

"Kemungkinan hamilnya sangat sedikit. Tuba fallopi sebelah kiri sangat sempit dan sebelah kanan mengalami penyumbatan," ujar Dokter sehalus mungkin agar tidak terlalu menyakiti hati Melissa. "Mungkin ada cara lain. Fertilisasi in vitro."

"Apakah dengan begitu aku bisa hamil?" Air mata sudah berada di sudut mata Melissa.

"Hanya Tuhan yang tahu," ucap Dokter. Dia mulai memasang wajah serius, sedikit berdeham. "Namun prosesnya cukup rumit, memakan waktu dan biaya yang cukup mahal."

"Akan kulakukan apa saja, Dok," suara Melissa melemah.

"Pembuahan ini terjadi di luar tubuh. Sel telur dan sel sperma akan saling membuahi di luar tubuh, kemudian dibiarkan berkembang. Untuk pengambilan sel telur mungkin akan memerlukan tahapan yang cukup menyakitkan," ada jeda yang cukup lama, "akan saya usahakan tidak terlalu menyakitkan untuk Ibu Melissa."

Melissa tak kuasa menahan air matanya. Dia menutup kedua mulutnya tak percaya. Bukan karena takut, akan tetapi dia bahagia bahwa masih ada secercah harapan untuk kehamilannya.

Melissa menjalani perawatannya, sel telur diambil dengan cara menyuntikkan jarum ke indung telur dan menyedotnya bersamaan dengan folikel. Dirinya rela muntah karena efek obat bius dan meminum banyak obat hormon untuk ovulasi—dibutuhkan banyak sample sel telur untuk proses in vitro. Namun hasilnya tidak cukup baik, dari hasil 25 sel telur hanya dua sel yang berhasil lulus serta berkembang dan siap ditanamkan ke rahimnya. Dokter mengatakan, butuh sepuluh minggu kiranya kandungannya bisa dikatakan aman dan bisa menuju proses kelahiran

Untuk kandungan pertamanya, Melissa senang bukan main. Dia terus meraba perutnya, mencoba merasakan nyawa yang tumbuh disana. Dia membeli banyak majalah seputar kehamilan, memberi tahu keluarga dan teman-temannya, serta memilih baju kehamilan bersama dengan suaminya. Langkah kakinya ringan dan senyum selalu menghiasi wajahnya. "Butuh seminggu lagi agar aku lulus," pikirnya saat itu.

Sancta MatrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang