Part 2

48 6 2
                                    

Teng teng teng

Suara sendok dari piring gue yang membabi buta, kalap mata, dan tanpa rekayasa, Karna kelaparan bak kaum dhuafa.

Meskipun saat itu di kantin cukup meriah suara manusia, gue serasa damai dan tenang banget. Mungkin telinga gue juga ga punya tenaga buat mendengar karna la-par.

Beberapa menit kemudian, si trio alay ele-gant selesai makan.

“Yuk capcus kelas !”

Ajak gue dengan ekspresi ular kekenyangan.

Langkah anggun gue dan patner beranjak meninggalkan kantin sahabat perut.

“O iya, btw kita langsung cus kelas nih? Nggak tepe dulu gitu? Mana tau ada yang na-k”

“Woi kalian bertiga ! Nyelonong aja siap makan langsung pergi, udah pada bayar belon ?”

Suara penjaga kantin memutuskan ucapan penuh ambisi si mput.

“Hah ! Belon bayar ?”

Ucap gue, sambil noleh telapak tangan lalu nemplokin ke jidat semesta gue.

Mampus !

“Duh gimana ini?
Ntar citra ele-gant kita bisa memudar seiring tertawaan manusia itu say” Ungkapan mulut kobra gue pada manusia berdua, sedang menyembunyikan malu di balik kerudung putih.

“Yaudah, gini aja !
Kita buru-buru balik lagi ke kantin itu, trus bayar makanan yang kita buang ke perut masing-masing, lalu buru-buru cus ke kelas sebelum kakak kelas yang ganteng pada kesini, dan ikut berbaur dengan pemirsa ngetawain nasib kaum dhuafa seperti kita” Celoteh penuh makna si yuni yang ngomong selambat keong racun yang cangkangnya di pake'in turbo.

Akhirnya kami berbalik dengan muka tembok 'nahan malu'.
Dengan sigap ngeluarin recehan di kantong kresek masing-masing, dan bayar makanan yang kami buang ke perut sedari tadi.

“Ma-maaf ya buk, kami kelupaan” Ucap si mput penuh penyesalan.

Lalu kami bertiga ambil langkah seribu, dan menghilang bagaikan ceking ronaldowati kepanasan.
Btw, ceking bisa ngilang ya ?
Yaudah gausah bahas, gue doa in semoga entu si ceking sehat selalu. Dan nggak lupa bayar pas makan, seperti kami bertiga.

* * *

Sesampai di kelas,

“Ya ampun !” gue nemplok jidat season kedua, dan kali ini nggak pake telapak tangan lagi, tapi pake dinding.

Gue lihat pemandangan kelas tercinta, dan ngeliat semua pada nge-rumpi no secreat cyin. Lalu apa salahnya mereka ngerumpi ? Nggak ada yang salah sih, cuma agak jengkel. Masak bapak-bapak kelas juga nge-rumpi ?

Orang yang gue maksud bapak-bapak adalah murid cowok di kelas gue. Yang jumlahnya segelintir memang, tapi tingkahnya gue jamin pasti beragam aneh semua. Terutama pada mereka ber-tiga.

Feri guswandi
‘pria yang ngaku gagah dari skill dan tampang’

Misbahul badri
‘lelaki sok kul yang membeku bagai kota arendel yang di sihir elsa, saking dinginnya’

Werno marta lino
‘cowok humoris yang segala makhluk di dunia bisa jadi objek kelakanya sendiri”

Mereka berkumpul di pojok ruangan, dan mereka jugalah yang tampak mencolok. Tiga lelaki yang menurut gue cukup alay di banding yang lain, dan akhirnya lelaki yang lain alay juga. Karna kecipratan alay mereka bertiga.

Gue nggak pernah kepikiran buat nge-akrapin diri sama mereka bertiga. Sampai akhirnya, silih waktu berganti dan hari demi hari gue lewati di kelas itu. Akhirnya, perlahan gue jadi pengagum mereka bertiga (pengagum rahasia ilahi) ,bukan manusianya yang gue kagumi. Tapi cara mereka merajut hubungan dengan tali ke-akraban hingga jadi kain persahabatan.

Mungkin gue jadi pengagum pertama mereka, yang entah kenapa mulai tersihir pesona ramuan sihir,
duh apa-an sih ini ?

“Mita ! Kok lo malah bengong” Teriak si mput sambil tabok bahu gue sambil jinjit cause dia pendek.


“kita udah berapa hari sekolah say?” Tanya gue masang muka o'on.

“baru sa-tu-ha-ri”
Kedua patner gua ngejawab serentak kayak anak pramuka lomba PBB.

Lah ! Dari tadi gue ngapain ? Gue ngayal lagi ? (Tanya dalam hati)

Nemplokin jidat season tiga, pake sepatu murid kelas tetangga.

Ternyata pasal kagum-mengagumi itu adalah jagad hayalan gue guys. Orang gue cuma bengong liatin bapak-bapak ngerumpi dari kejauhan, dan itu dari tadi.

Ngeng ngeng ngeng

Bel masuk kelas-pun kesannya ikut menertawai diri gue si ratu hayalan ini.

Daripada malu gue nggak berlanjut sampai berakar ke tanah kelas ini, gue mutusin buat duduk rapi lagi disebelah patner gue yuni mulya wati. Itu nama lengkap dia diabsen kelas, sedangkan di otak gue namanya 'yuni demit'.

Gue duduk sambil mikir, “kok bisa gue ngayal bakal jadi pengagum cowok aneh bertiga itu ?” ih, nggak mungkin (geleng kepala).

“Lo ngapa cyintah? Kok dari tadi bengong mulu? Ada yang salah di otak lo? Atau, perut lo lapar lagi?”

Tanya yuni bikin gue terdampar di gurun pasir kehampaan, kemudian melayang tersapu angin bagai butiran debu.

* * *

THE  EMEJING  LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang