"Kamu yakin Al ini nggak terlalu berlebihan? Lagipula kamu tahukan statusku ini kayak gimana."
Aku menelan ludahku. Tanganku yang semula hendak memegang knob pintu kini aku tarik kembali. Suara itu. Iya, suara milik Pevita.
"Aku tahu," ucap laki-laki itu.
Aku tahu seharusnya aku tak berhak menguping pembicaraan mereka, tetapi entah kenapa kakiku bagai tak bisa melangkah menjauh dari ruangan Alfa.
"Artha sebenarnya udah ngebet pingin ketemu kamu, tetapi sama neneknya masih nggak boleh dulu. Lagipula dia masih ada di rumah sakit, meski ya tingkahnya udah kayak anak sehat."
Artha? Siapa lagi dia?
"Kapan aku bisa ketemu dia?" tanya Alfa.
"Besok dia udah boleh pulang dan kamu bisa pergi ke rumahku. Oya, dan ngomong-ngomong jangan kaget kalau besok kamu dipanggil ayah sama Artha. Aku udah beritahu siapa kamu sebenarnya, tetapi tolong maklum kalau besok dia manggil ayah ke kamu soalnya dia dari dulu pingin banget punya Ayah."
Ayah? Alfa jadi seorang Ayah?
Aku benar-benar tak bisa membayangkan akan seperti ini jadinya.
Hingga aku kembali teringat urusanku. Ya, aku hendak mengantarkan dokumen pada Alfa, tetapi tertahan saat mendengarkan pembicaraan mereka tadi.
Aku menarik napas, lalu mengetuk pintu milik Alfa. Ketika si empunya sudah menyuruh masuk, aku melangkahkan kakiku ke dalam.
Laki-laki itu sedang duduk di mejanya, sedangkan Pevita berdiri di sampingnya.
Pevita tersenyum padaku. "Hai, Yuki. Kita ketemu lagi," ucapnya. Aku hanya balas tersenyum kecil.
"Kalau gitu mungkin aku pamit dulu. Aku pergi dulu, Al, Ki," ucapnya sebelum memegang lembut bahuku dan meninggalkan ruangan.
Hingga tinggal aku berdua dengan Alfa di ruangan. Aku menarik napas panjang. "Maaf Pak, mungkin saya menganggu waktu sebentar, tapi saya mau berikan ini dokumen untuk meeting nanti."
Alfa terdiam dan menatapku tajam. "Sejak kapan kamu manggil aku Pak? Dan sejak kapan kamu manggil kamu sendiri dengan sebutan saya?"
Aku menelan ludahku. Tak mampu untuk menjawab.
Alfa beranjak dari kursinya dan berjalan mendekat ke arahku. "Apa kamu dengar percakapanku dengan Pevita tadi?"
Aku terdiam. Laki-laki itu semakin mendekat ke arahku hingga menyisakan jarak beberapa senti di antara kami. Dia menatapku tepat di mataku, mencari setiap celah kebohongan di antara diriku.
"Apa kamu cemburu, Yuki?"
Aku memalingkan wajahku dan menggingit bibir bagian bawah. Aku benar-benar tak sanggup memandangnya sedekat ini.
Ini salah.
"Kita di kantor, Pak."
"Jangan mengalihkan topik! Apa kamu cemburu?"
Aku menarik napas dalam lalu memberanikan diri menatapnya. "Nggak. Saya nggak akan pernah cemburu. Dan saya nggak ada sangkut pautnya dengan urusan Bapak dan tunangan Bapak. Kalau begitu, saya pamit dulu."
Aku segera membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu. Aku benar-benar tak tahu apa yang kurasakan tapi yang pasti ada bagian dari hatiku yang merasakan sakit saat aku berkata seperti itu pada Alfa.
***
"Jadi si Pevita udah punya anak dan Alfa siap jadi ayah tirinya anaknya Pevita itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah yuk! ✔
Romance[16+] HARAP BIJAKSANA DALAM MEMILIH BACAAN *** "Kita nikah yuk!" Hening. Sebelum.... Suara tawaku pecah menyadari kalimat yang dilontarkan Alfa Nikah?! Oh ya Tuhan, aku bahkan sama sekali tidak pernah sampai berpikir menikah dengan sahabat sendiri...