Chapter - 4

78 8 0
                                    


Kalian mau tahu? ternyata di balik gue keluar dari kelompok itu Tuhan udah membuat rencana yang begitu indah. Loh, maksudnya? Biar gue jelasin.

Ya sejak gue keluar, lebih tepatnya saat perdebatan di koridor yang hanya disaksikan oleh hujan, keesokannya dia memulai chat ke gue. Tapi dia ngechat gue bukan untuk ngebahas tentang kejadian itu, dia ngechat gue sebagai seorang teman. Catat, TEMAN.

Hari demi hari, setiap sepulang sekolah kami selalu chatingan, saling memberi kabar masing-masing. Bahkan kami sering ngepap satu sama lain. Ngga tahu kenapa itu menjadi rutinitas kami setiap malam.

Di sekolah, walaupun tujuh jam bersama-sama di kelas, entah kenapa waktu terasa begitu cepat. Perasaan gue aja kali, ya? Iya sejak saat itu gue mulai ngerasa kalau gue nyaman sama dia. Dan gue sadar, tidak ada hal yang lebih membahayakan selain rasa nyaman. Karena rasa nyaman kepada seseorang itu lebih berbahaya dari pada jatuh cinta.

Iya gue akui gue emang udah nyaman sama dia. Sampai akhirnya setiap malam kita selalu video call. Hahaha ... lucu sih sebenarnya, tapi itu juga menjadi rutinitas kami di malam hari. Jujur, ternyata bener kata orang-orang, "Masa putih abu-abu itu yang paling menyenangkan. It's true, gue merasakannya."

Tapi tunggu, jangan kalian pikir kami di kelas dekat seperti saat di malam hari. Nggak Di kelas kami biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Seperti teman biasa pada umunya. Memang kita suka bercanda tapi itukan hal yang wajar saja, toh? Nggak terasa sekarang udah menginjak delapan bulan kami berada di kelas ini, sungguh waktu yang singkat.

Bel sekolah pun berbunyi menandakan semua murid diizinkan pulang, membuat semuanya bersorak gembira. Langit pun sudah mulai gelap, pertanda akan turun hujan seperti kemarin. Belum ada lima menit bel berbunyi, hujan turun sangat deras, mengurungkan niat gue untuk pulang dan menuju kekantin.

Terlihat dari kantin beberapa murid nekat menerobos derasnya air hujan dan angin yang kencang. Udara terasa dingin, gue pun memesan cokelat hangat yang bisa membuat gue merasa sedikit lebih tenang. Mata gue melihat ke arah novel yang sedang gue baca dengan ditemani aroma khas dari coklat hangat yang gue pesan. Sudah sepuluh menit gue berada di kantin sambil menunggu hujan reda, aktivitas gue terhenti saat mendengar notif dari ponsel yang berada di saku kemeja.

Dika : Lu udah pulang?

Marsya : Belum. Gue lagi di kantin.

Tak ada balasan lagi dari Dika, gue pun melanjutkan membaca novel. Sesekali menyeruput cokelat hangat yang gue pesan. Saat itu, tiba-tiba seperti ada seseorang yang duduk di depan gue. Gue mendongak, dan iya itu dia, Dika.

"Dika?"

Dika hanya melemparkan senyuman simpul.

"Bukannya lu udah pulang ya tadi?" tanya gue.

"Iya sih, baru sampe gerbang gue baru inget kalo buku gue ketinggalan di kolong meja."

Gue hanya mengangguk pelan. Lagi-lagi kami berbincang dengan ditemani hujan yang deras serta angin yang kencang. Hari sudah mulai sore, tapi tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan reda. Kantin pun sudah mulai tutup. Sekarang di kantin hanya ada gue dan Dika.

"Main hujan-hujanan, yuk!" ajak Dika dan gue hanya menggeleng.

Tanpa berlama-lama Dika menggenggam tangan kanan gue, lalu menarik ke tengah lapangan. Saat itu gue ngerasa nggak ada hal yang lebih menyenangkan selain saat itu. Iya, hujan membuat kami menjadi sangat dekat. I Love Rain.

Gue tersenyum simpul saat melihat Dika melebarkan kedua tangan, dengan wajah yang memandang ke langit, sementara kedua matanya tertutup.

"Lu ngapain, Dik?!" tanya gue dengan nada yang sedikit keras karena terhalangi suara deras hujan yang turun.

"Gue lagi ngerasain setiap air hujan yang jatuh di wajah gue. Dan gue bayangin orang yang gue suka."

Aneh.



Tbc.


Cerita Dibalik Hujan [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang