Happy reading
.
.
.
"Ini rumah siapa? Ngapain kita berhenti di sini?" tanya Chiya penasaran. "Jangan bilang lo pada mau nyerahin gue sama tokek belang," lanjutnya, setelah mereka sampai di sebuah rumah mewah. Chiya memerhatikan sekelilingnya. Yang dimaksud 'tokek belang' adalah 'pria berhidung belang'.
"Gak mungkin kali kita nyerahin lo sama tokek belang," sahut Vanni.
Chiya mengerutkan dahi, bingung. "Jadi, ini rumah siapa?" tanya Chiya, menatap mereka meminta jawaban.
"Ini rumah Nan--"
"Rumah cogan," potong Vanni cepat, lalu mengedipkan sebelah matanya, memberi kode, kalau mereka sedikit berpura-pura mungkin.
Chiya menatap Vanni dan Oliv bergantian, ada yang aneh dari mereka, seperti menyembunyikan sesuatu hal yang lain. Pikirnya.
Chiya ber-oh ria sembari tersenyum, tak ingin memaksa mereka memberitahunya, mungkin dia akan tahu nantinya.
"Woy! Diem-diem bae. Mau masuk apa nggak nih? Kasian para cogan di dalem nungguin dari tadi." Vanni menarik tangan Chiya dan Oliv, seolah-olah menuntun mereka menuju pintu masuk. Tanpa diberitahu pun semua orang pasti tahu pintu masuk, bukan?
Chiya terpukau saat memasuki rumah itu, pigura-pigura besar maupun kecil tertata rapi di setiap ruangan. Pandangannya terpaku pada pigura berukuran sedang, terlihat seorang bocah laki-laki sedang bermain piano. Chiya mengernyit, bagaimana bisa bocah sekitar umur delapan tahun memainkan alat musik? Terlebih lagi alat musik itu adalah piano.
Jauh di lubuk hati yang terdalam, Chiya merasa iri melihat bocah itu. Sewaktu kecil Chiya bersusah payah berlatih memainkan piano, tapi apa daya, dirinya tidak bisa. Mungkin sebagian orang akan berpendapat piano adalah alat musik paling mudah dimainkan, tinggal menekan tuts-tuts yang berakhiran sebuah suara. Lain halnya dengan Chiya. Dia tidak bisa!
Chiya menatap lurus bocah laki-laki itu, hendak melihat wajahnya dari dekat. Posisi Chiya berdiri lumayan jauh, ditambah letak pigura yang telampau tinggi. Sebenarnya Chiya bisa saja mengambil pigura itu dengan bantuan kursi, tapi dia tahu keadaan. Ini rumah orang, bukan rumahnya!
"Cici!" Suara cempreng milik Vanni membuat Chiya menoleh ke arahnya, tanpa disadari Chiya mendekat.
"Apaan?" balas Chiya malas.
"Bukannya duduk malah ke sana," cibir Vanni.
Chiya mengendikkan bahu acuh. "Is there something wrong?" tanya Chiya setelah dia duduk di sofa.
"Au ah."
"Lo pada haus gak? Biar gue ambilin, mumpung hari ini gue baik. Kalo besok gue jahat mampus lo pada," celetuk Oliv tiba-tiba.
"Pesen satu ya, mbak," ucap Vanni terkekeh.
Oliv berkacak pinggang seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya yang tidak pulang seharian. "Lo pikir gue apaan?! Mbak mbek mbak mbek," ketus Oliv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Prince
Teen FictionKehidupan Nando berubah semenjak ia bertemu dengan seorang gadis yang bernama Chiya. Awalnya, Nando tidak menghiraukan saran dari sahabat-sahabatnya itu. Akan tetapi, ia merubah pikirannya. Menuruti apa yang di sarankan sahabatnya kepadanya. Akanka...