SUDAHLAH

382 2 0
                                    


Perempuan kecil di sampingku lagi-lagi menangis.

Kali ini tangisnya tidak menggerung, seperti tadi.
Hanya isaknya stakato tiap beberapa saat dibarengi getar bahunya yang naik turun.
Jarinya sibuk memilin ujung rok seragamnya yang kini sedikit basah oleh air mata.
Aku diam.
Ku sentuh bahu ringkihnya. 

Perempuan itu perlahan mengangkat kepalanya.

“Aku patah hati”

Kalimat pendek yang sebenarnya  telah kuduga dan berputar dalam kepalaku sejak sebelum dia berkata barusan akhirnya berhambur juga dari mulutnya.

“Siapa kali ini” Tanyaku pendek.

“Seseorang dengan segala mimpi yang kubuat tentangnya”

Perempuan itu kini berhenti terisak. Ada gurat duka dari matanya sebagai ganti.

“mimpi, semua ceritamu berkalang mimpi, jika mimpimu tak tereksekusi, kau memaki” Aku membredel kenaifan dalam jiwa perempuan kering di depanku.

“Mimpiku bukan sembarang mimpi. Kau juga sering tak memijak bumi!” kini suaranya tak gentar mengalahkan derap kereta api jawa yang barusan lewat di luar jendela kamar kami yang pengap membaurkan debu-debu pekat.

“Tak perlu merasa hina, aku tidak pernah menyangkal bahwa bermimpi itu tidak benar, hanya enggau terlalu lampau”

Aku berjalan menuju tuas saklar hitam di samping lemari reot kamarku. Tuas berdebu itu kudorong ke atas.
Matahari sebentar lagi segera tergelincir dan kini kamarku mulai bermandikan pijaran kuning lampu redup, seredup cahaya mata perempuan di depanku.

“Kusangka dia lelaki baik, Tapi ternyata dia setali tiga uang dengan yang lainnya” Perempuan itu kembali terisak.

Seperti ber-dejavu. Lagi-lagi sederet kalimat lama itu yang bisa dia telurkan dari lisannya.

“Sudahlah” Setelah lama memilah, kata apa yang pantas untuk membalas , cuma itu yang bisa ku ingat.

“Sudahlah” Kataku lagi, seperti berusaha memperjelas.

Kau tak akan pernah tahu, betapa aku pun merindu mimpi-mimpi yang sejak dulu kurentas bersama waktu yang kejam bergulir, namun sangat sulit terwujud. Lalu jika ku telah sampai pada titik lelahku, aku berbalik dan berkata, Sudahlah” 

Dan seperti biasa kalimat itu hanya terekam dibatinku tanpa pernah ku coba perdengarkan pada perempuan pucat ini.

-End.
Kuningan 14012008

ANTOLOGI HATI; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now