KERUDUNG KEMUNING

877 6 0
                                    

[Published di Majalah Kawanku]

🌾🌾🌾

Matahari baru saja tergelincir menandakan senja yang sebentar lagi berkuasa.

Emak meraih lampu tempel di sudut meja reot, mengangkat tutup kacanya dan memutar tuas ulir membuat sumbu-sumbu hitam yang mulai gundul termakan api, muncul kepermukaan.
Sebentar saja ruangan dalam gubuk reyot itu temaram oleh lampu minyak.

Kemuning belum pulang.

Anak semata wayang emak yang setiap hari rajin membantu emak dengan cara mengamen di jalanan, belum juga pulang senja itu.

Emak teringat percakapannya dengan Kemuning beberapa hari lalu.

"Mak, di Langgar dekat rumah pak RT bakal ada pengajinan buat anak-anak. Kemuning ikut ya mak, tapi Kemuning pengen beli kerudung seperti punya Mbak Cici. Bagus deh mak, ada kupu-kupunya"

Gadis mungil itu sibuk berceloteh di depan emak yang masih berkutat dengan setumpuk baju-baju setrikaan milik beberapa tetangga yang menyewa jasa mencucinya.

"Pake kerudung emak aja, Kemuning. Kan sayang kalo harus beli yang baru"

Emak mencari mata Kemuning. Tampak pendar bintangnya sedikit meredup.

"Kemuning mau lebih rajin ngamen di jalan aja deh, mak. Jadi engga ngerepotin emak"

Jemarinya lincah melipat mukenah dan kain sarung yang ujungnya sudah melinting, ke dalam kantong kresek.

"Kemuning ke Langgar dulu, ya Mak"

Ia mencium punggung tangan perempuan sederhana di depannya, lalu gadis mungil itu buru-buru keluar dari rumahnya ketika suara panggilan teman sebayanya mengudara di luar.

Dada emak nyeri sebenarnya melihat Kemuning. Kalau saja bapak Kemuning tidak sakit-sakitan dan tidak perlu pengobatan, tentu saja emak mau mengabulkan keinginan gadis kecil tercintanya. Tapi emak sekarang harus pandai berhemat dan mengumpulkan uang demi obat-obat bapak.

Belum lagi sekarang semuanya serba mahal. Kalau bukan karena bapak pensiunan PJKA (sekarang PT. KAI), mungkin sudah dari dulu mereka harus keluar dari rumah petak itu.

Bapak memang mengawini emak diusia yang terpaut jauh dengan emak. Saat-saat sekarang adalah saat yang tepat untuk menguji kesetiaan emak terhadap bapak. Untungnya emak adalah perempuan sederhana yang nrimo. Bahkan jika tidak diperistri oleh bapak, emak entah kini sudah menjadi apa.

Emak duduk di bale-bale tua di samping tumpukan gelas plastik bekas air mineral. Tangan keriputnya sibuk membersihkan plastik penutup gelas itu dengan pisau. Gelas-gelas plastik tersebut nantinya bakal dijual ke pengepul barang bekas. Walau tidak banyak hasilnya, namun cukup lumayan untuk makan sehari-hari.

Sesekali emak melemparkan pandangannya ke ujung gang sempit yang menghubungkannya dengan jalan besar. Ia mencari-cari sosok anak perempuannya, tapi yang ditunggu belum juga muncul.

Lepas magrib ketika emak baru saja melipat mukenanya, pintu rumah emak digedor.

"Permisi Bu Hanif, Bu Hanif! "

Suara panik dengan nada buru-buru mengagetkan emak.

Pak Mamat dan Udin anaknya yang sebaya Kemuning sudah berdiri di depan pintu rumah emak dengan air muka yang sulit emak tebak.

"Kemuning. Bu," Suara pak Mamat tercekat.

"Ada apa dengan Kemuning pak?"

Muka emak pias. Hatinya seperti mencelos mendengar nama anak perempuannya disebut.

"Anu, bu, Kemuning..."

Sejenak ada keraguan pada suara Pak Mamat.

"Kemuning kecelakaan, bu. Ada mobil bus yang tiba-tiba nyerempet dia"

Pak Mamat tergagap sambil menunjukan wajah prihatin yang mendalam.

Udin yang kini sudah sembab menahan air mata lalu menyodorkan kantong kresek hitam yang sejak tadi dia bawa.

"Ini Mak, Kemuning beli ini sebelum bus kopaja itu nabrak dia"

Setelah itu tangis Udin pecah di dekapan ayahnya.

Dengan tangan gementar, Emak menerima kantong kresek dari tangan Udin, menarik keluar benda yang ada di dalamnya.

Sebuah kerudung putih bermotif kupu-kupu kuning cantik, persis seperti yang diinginkan Kemuning.

End.
Kuningan, Maret 2008.

ANTOLOGI HATI; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now