#
Namaku Timothy. Aku seorang pelajar SMA di salah satu sekolah ternama di Bandung. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku. Kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan 10 tahun yang lalu. Aku memiliki seorang teman yang selalu menemaniku. Namanya adalah Reni. Namanya memang seperti perempuan. Tapi Reni adalah seorang anak laki-laki yang seumuran denganku dan teman yang sangat baik. Ia selalu ada disaat aku sedang merasa sedih.Suatu hari aku sedang duduk di kelas sendiri, menikmati makan siang dan juga komik Conan yang baru ku beli kemarin. Tiba-tiba Dimas dan teman-temannya datang menghampiriku.
"Oi Tim. Lagi ngapain tuh? Baca Conan mulu. Kayak anak kecil aja masih baca komik" Ucap Dimas yang disambut dengan tawaan teman-temannya. Aku mengabaikan perkataan Dimas dan melanjutkan bacaanku. Tiba-tiba komikku diambil Dimas. Aku melihat komikku di robek halaman demi halaman oleh Dimas. Aku kesal. Aku langsung berlari ke kamar mandi meninggalkan makan siangku dan komikku yang sudah hancur. Reni mengikutiku.
"Tim kamu kenapa?" Tanya Reni. Aku menangis dan menggeleng.
"Sepertinya ada sesuatu yang bermasalah?" tanya Reni lagi. Aku masih menangis dan mengingat bagaimana Dimas merobek komikku halaman demi halaman. Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Reni. Mukanya langsung terlihat marah. Reni sangat tidak suka melihatku diganggu oleh anak-anak lain. Ia seringkali berkata padaku untuk bunuh saja anak-anak itu. Tapi tak ku hiraukan karena aku tidak berani membunuh Dimas yang memiliki badan lebih besar daripadaku.
Aku sering menceritakan tentang Reni kepada kakek dan nenek. Tapi entah mengapa kakek dan nenek selalu berkata Reni bukan teman yang nyata. Padahal terkadang Reni ada di depan kakek atau nenek. Bahkan aku selalu dibawa ke seorang psikolog yang tak lain adalah tanteku sendiri untuk membicarakan hal ini. Aku dipaksa minum obat ketika aku sendiri sebenarnya tidak sakit. Aku merasa yang gila adalah kakek dan nenek karena mereka tidak bisa melihat sesosok laki-laki yang seumuran denganku di hadapan mereka.
Suatu pagi aku tiba-tiba terbangun dengan suara bisikan Reni. Reni berkata ia baru saja mendengar kakek dan nenek berbicara. Ia bilang kakek dan nenek tidak ingin mengurusku lagi. Mereka sudah tidak sayang lagi padaku. Namun aku merasa Reni salah dengar dan tidak menghiraukan itu. Setidaknya itu yang aku pikirkan sampai aku mendengar sendiri suara kakek sedang berbicara dengan nenek. Aku ingat persis perkataan kakek
"Sebaiknya kita buang kemana si Timmy? Aku sudah tidak mau mengurus beban seperti anak itu"
Aku menangis dan kembali ke kamar. Saat itu hari Minggu. Aku menceritakan apa yang baru saja ku dengar dari mulut kakek. Reni memelukku dan ia bilang bahwa aku tidak sendirian. Masih ada Reni. Reni lalu memberi usul. Bagaimana kalau kita buat kakek dan nenek "tertidur". Ia kemudian mengambil obat-obat penenang yang tidak pernah aku sentuh. Kemudian aku mengambil obat-obat itu dan menggerusnya menjadi sangat halus. Aku akan menaruh obat-obat ini ke dalam minuman kakek dan nenek.
Kira-kira siang pada saat jam makan siang. Aku keluar kamar dan menemukan nenek sedang menyiapkan makananku. Kemudian Reni mengambil obat yang tadi ku gerus dan menyiapkan minuman untuk kakek dan nenek. Aku melihat Reni memasukan bubuk obat itu ke dalam teh yang akan diminum kakek dan nenek. Banyak sekali. Kemudian Reni memberikan minuman itu kepada kakek dan nenek. Kita semua menikmati makan siang yang disiapkan nenek. Lalu aku melihat kakek dan nenek meminum teh yang tadi disiapkan oleh Reni. Tidak lama setelah itu kakek dan nenek tertidur di meja makan. Aku langsung beranjak pergi untuk mencari udara segar.
Saat sedang duduk di taman dengan Reni, tiba-tiba Dimas dan teman-temannya mengahampiriku. Dimas berkali-kali menyebutkan bahwa diriku adalah seorang pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku tidak membunuh siapapun. Sekalipun tidak pernah. Namun kata-kata itu lama-lama membuatku marah. Kemudian aku melihat Reni menarik rambut Dimas dan membenturkan kepala Dimas ke bangku yang tadi kududuki. Reni membentur kepala Dimas berkali-kali sampai ia diam. Entah mengapa aku merasa lega Dimas diam. Tapi tiba-tiba aku mulai mendengar suara-suara orang lain dan banyak orang yang melihatku. Pelan-pelan aku mendengar orang-orang itu menyebutkan namaku dan berkata aku seorang pembunuh.
Aku langsung berlari pulang ke rumah dan mengunci diri dalam kamar. Suara-suara itu bertambah keras. Aku bukan seorang pembunuh. Aku tidak melakukan apa-apa. Semua itu Reni yang kerjakan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Reni langsung menyuruhku untuk bersembunyi dalam lemari baju. Aku langsung masuk kedalam lemari baju. Aku duduk disana sambil menangis dan mendengar suara pintukku di ketuk semakin kencang. Lama-kelamaan Reni mulai mengomeliku dan mulai menyebutku seorang pembunuh. Aku merasa sangat tersakiti mendengar perkataan Reni. Tiba-tiba aku menemukan sebuah gunting dan aku langsung menusuk Reni berkali-kali. Sampai akhirnya Reni tidak bersuara.
Kira-kira lima menit kemudian seseorang membuka pintu lemariku. Aku melihat wajah tanteku yang terkejut. Tubuhku sudah penuh dengan luka tusukan. Aku tidak sadar kalau yang baru saja kubunuh bukan Reni. Tapi diriku. Aku baru menyadari bahwa Reni tidak nyata. Suara-suara yang tadi kudengar juga hilang. Aku tidak tahu mana yang nyata dan yang tidak. Aku langsung dilarikan ke rumah sakit. Tapi aku sudah kehabisan terlalu banyak darah dan nyawaku tidak tertolong. Orang-orang yang kukira sudah dibunuh Reni, semuanya masih hidup. Kakek, nenek, Dimas, mereka semua masih hidup. Teh yang diminum kakek dan nenek tidak pernah diberi obat penenang. Dimas pada hari itu juga tidak pernah datang ke taman. Dan kini aku tau mengapa temanku, Reni tidak pernah ada. Karena Reni adalah bagian dari penyakit yang kuderita, SchizophrRENIa.
Vote dan komentnya.
Saya suka❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
Ужасыsekumpulan cerita horror yang bisa membuat mu merinding, dan kalian yakin tetap berada dalm cerita yang saya Share ini? Tetapi jika kalian tetap membaca, Saya hanya memberi peringatan. Jangan membaca cerita yang saya Share ini dalam keadaan sendiri...