Aku tak biasanya akrab dengan tetanggaku. Hanya ada tiga kamar di lantai apartemenku, namun aku tak ingat kapan terakhir kali aku berbicara dengan Jude dan Stella. Aku sama sekali tak heran saat mengetahui mereka pindah. Namun aku terkejut mereka sama sekali tak memberitahuku tentang hal itu.
Tapi sudahlah, tetangga baruku namanya Ken. Dari sekilas melihat kamar apartemennya, sebagian besar barang-barang milik Jude masih di sana. Kurasa mereka meninggalkannya dan menjualnya bersama dengan kamar mereka. Keputusan yang tepat. Aku bayangkan pasti sangat merepotkan memindahkan furniture sebanyak itu. Satu-satunya hal yang baru adalah sebuah lukisan. Aku melihatnya tersandar di sofa saat aku mengintip ke dalam. Lukisan itu terlihat seperti peta yang kuno, tersusun atas bagian-bagian berbeda yang sepertinya melambangkan negara-negara. Setelah berpikir sejenak, tak hanya Ken menggunakan sebagian besar perabotan Jude, ia bahkan berpakaian sedikit sepertinya.
Aneh bagaimana aku tidak begitu mengenal Jude dan Stella. Kau tahu lah, hubungan canggung para tetangga masa kini yang hanya saling menyapa ketika bertemu di lorong. Kadang kala kami berjanji untuk mampir dan ngobrol, namun itu semua hanya basa-basi semata.
Ken berbeda. Ia datang malam itu juga, namun saat itu aku sedang bersiap-siap untuk keluar. Bahkan, ia datang hampir tiap malam. Karena aku sibuk di luar rumah, selalu saja ada alasan sopan bagiku untuk menolak ajakannnya.
Pada awalnya, Ken hanya mampir untuk meminjam sesuatu. Dengan senyum lebar di wajahnya, ia akan berdiri di pintuku dan meminjam gunting atau selotip. Ia bahkan meminjam peralatan dapurku. Dari bau masakannya sepertinya ia menggunakan kompor kecil yang biasa digunakan untuk kemping. Mungkin perusahaan gas belum menyambungkan saluran gasnya?
Aku kadang menawarkannya untuk menggunakan dapurku, namun ia selalu saja menolak. Benar-benar pria yang sopan.
Namun walaupun Ken terlihat baik dan ramah, aku harus mengatakan bahwa ia sedikit keras kepala. Sejak pertengahan minggu lalu, ia datang tiap malam sekali atau dua kali, kadang bahkan sampai tiga kali. Ia juga mengundangku untuk duduk-duduk di apartemennya. Pertama ia mengajakku melihat pertandingan olahraga di televisi, namun aku mengatakan kalau aku nanti hanya akan membuatnya bosan. Ia terlihat sedih dan kembali mencobanya beberapa jam kemudian, hingga aku akhirnya menjadi lelah menolak semua ajakannya.
Akan tetapi, semua alasannya menjadi aneh dan lebih aneh. Ia mengundangku melihat film, namun aku pikir hal seperti itu terlalu intim untuk seorang kenalan. Kemudian ia mengajakku memasak bersama, namun saat itu aku sudah membeli makanan. Dan kalau boleh jujur, aku mulai merasa tak nyaman dengan semua ajakannya. Mungkin karena ia terlihat sangat kesepian dan mencari teman baru di kota?
Namun, Ken terdengar seperti orang lokal. Bahkan, ia tampaknya lebih tahu tentang lingkungan ini, lebih daripada orang lain yang tinggal lebih lama dari dia! Aku harus membuat duplikat kunci, dan ketika ia bertanya kepadanya, ia menggambarkan jalur menuju toko kunci dalam cara yang tak pernah kudengar sebelumnya. Tak seperti orang biasa – belok kiri disana, belok kanan disana – ia menjelaskannya dengan menggambarkan orang2 yang akan kutemui.
“Pergilah ke jalan itu,” katanya, “dan ketika kamu melihat wajah seorang kasir yang gemuk, beloklah ke kiri.”
Ia melanjutkan,
“Ketika kamu melewati poster sebuah film dewasa yang membuat setiap laki2 malu melihatnya, beloklah ke kanan. Tokonya adalah satu-satunya toko dengan dua orang di belakang kasir, wanita yang sudah menikah dan pria muda yang terawa dengan enggan pada setiap leluconnya.”
Dekripsinya benar-benar membuatku takut. Namun kenyataannya, ketika aku berjalan sepanjang rute tersebut, kata-katanya masih terngiang di kepalaku, dan aku melihatnya benar2 terjadi. Waktu di mana wajah seorang petugas kasir yang gemuk, ada sebuah gang sempit di antara dua rumah – jalan pintas yang tak pernah aku perhatikan sebelumnya.
Aku bisa melihat bagaimana laki-laki melirik poster film itu, wajah mereka menjadi sedikit memerah ketimbang biasanya. Dan pemuda itu juga tertawa mendengar lelucon sang wanita. Semua sama seperti yang Ken katakan.
Apakah manusia benar-benar mudah ditebak? Apakah orang-orang itu selalu melakukan hal tersebut? apakah orang-orang yang berada di kasir itu selalu berdiri di tempat yang sama?
Ken menjadi lebih keras kepala sejak saat itu, seakan ia sudah merasa bahwa ia mulai kehilangan kepercayaanku. Kemarin ia datang hingga tiga kali. Pertama, ia memintaku datang dan membantunya dengan sesuatu, namun aku sedang bersiap-siap mandi, kemudian aku melupakannya. Kemudian dia datang kembali, meminta apakah aku mau bermain Scrabble. Pertama aku mengira ia sedang bercanda, namun kali ini ia memiliki tatapan serius yang aneh. Aku hanya mengatakan bahwa aku sedang menunggu telepon yang penting.
Ketiga kalinya adalah ketika aku sudah bersiap tidur. Entah bagaimana aku mendapatkan kesan bahwa ia berusaha masuk ke apartemenku. Ia masih ramah dan sopan, namun agak memaksa. Ia bahkan bertanya apakah ia bisa mengambil fotoku. Katanya untuk koleksinya. Aku mungkin agak kasar ketika menolaknya, namun aku hanya terlalu lelah untuk berurusan dengan seorang tetangga yang aneh.
Terakhir kali ia datang adalah hari ini, hanya beberapa menit setelah aku sampai di rumah. Aku sedang memasak, jadi aku tak terlalu yakin mendengar suara ketukan di pintu. Aku kemudian mendengarnya dengan jelas ketika ia mulai menggedornya. Ia memanggil namaku. Ia terdengar panik dan marah saat itu. Aku tak begitu mendengar dengan jelas apa yang ia katakan dan aku juga tak mengingatnya, namun beberapa kata terus terpatri dalam ingatanku.
“Ayolah, kamu harus membantuku menyelesaikannya.”
“Aku hanya butuh satu lagi.”
“Ayolah, aku tahu kau di dalam.”
Aku tak yakin mengapa aku tak membukakannya pintu saat itu, namun aku merasa itu adalah keputusan yang tepat.
“Kumohon, aku benar-benar membutuhkanmu.”
“Kau harus membantuku! Tak banyak yang memiliki warna yang tepat sepertimu.”
Dengan setiap kalimat terucap, ia menjadi semakin marah.
“Aku tak punya banyak waktu!”
“Kamu harus membantuku, tak peduli kau mau atau tidak!”
Dan tepat saat aku hendak memanggil polisi, aku mendengar bunyi sirine. Aku langsung membeku di tempat begitu mendengar suara sirine itu makin keras dan menyadari bahwa mereka menuju ke apartemenku. Sementara itu pintuku bergetar karena seseorang di luar sana berusaha mendobraknya.
Kemudian aku mendengar teriakan di luar pintu, bel pintu berdering terus-menerus.
Selanjutnya aku mendengar teriakan dan suara mengutuk, tepat di depan pintuku.
Aku bahkan mendengar polisi berteriak mengenai suatu tuduhan pembunuhan.
Aku tak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan, namun ia mulai berbicara tentang potongan-potongan.
Potongan kulit.
“Sebuah peta,” kataku pada diriku sendiri, “Itu hanya sebuah peta.”
Vote dan komentnya donk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
Terrorsekumpulan cerita horror yang bisa membuat mu merinding, dan kalian yakin tetap berada dalm cerita yang saya Share ini? Tetapi jika kalian tetap membaca, Saya hanya memberi peringatan. Jangan membaca cerita yang saya Share ini dalam keadaan sendiri...