Pengantar - Acep Zamzam Noor

79 2 0
                                    

MELATI DI PAHA YUNIS

Acep Zamzam Noor

ADA sesuatu yang menggembirakan dalam dunia perpuisian kita belakangan ini. Puisi yang sebelumnya hanya ditulis oleh segelintir orang yang menyebut dirinya penyair atau calon penyair, yang pembacanya sangat terbatas untuk tidak mengatakan hanya para penyair dan calon penyair saja, belakangan sedikit memperlebar wilayahnya. Nampaknya puisi semakin banyak ditulis dan dibaca orang, bukan hanya oleh anak-anak sekolah atau mahasiswa sastra tapi juga oleh mereka dari berbagai kalangan dan profesi. Di toko buku belakangan ini kita menemukan sejumlah kumpulan puisi yang ditulis oleh pengacara, pengamat politik, pengusaha, pastor, kiyai, jaksa, birokrat (saya mendengar juga ada mantan menteri dari kabinet lalu yang tengah serius-seriusnya menulis novel dan puisi) dan bahkan presiden. Tak ketinggalan juga para profesional seperti arsitek, desainer, ekonom, sosiolog, dokter, wartawan dan paranormal. Saya kira mereka menulis puisi bukan karena sedang jatuh cinta, pasti ada alasan lain kenapa mereka menulis puisi.

Yang memperlebar wilayah perpuisian kita sekarang ini tentu saja bukan hanya kaum lelaki yang berbatik, para wanita cantik (baik yang setengah baya maupun yang sedang segar-segarnya) juga turut menyemarakan dunia yang akrab dengan kemurungan ini. Mereka adalah para penyanyi, peragawati, presenter, juga bintang film atau sinetron. Mereka ramai-ramai menerbitkan buku dan meluncurkannya dengan acara yang meriah. Di kota-kota besar muncul komunitas-komunitas pencinta sastra, termasuk puisi, yang terdiri dari ibu-ibu muda dan wanita-wanita karir. Mereka berdiskusi di kafe-kafe dan mempublikasikan karya-karyanya di milis. Para penyair muda pun kini tidak selalu identik dengan lelaki berambut gondrong, berpakaian lusuh, bertubuh kurus kering dan terkesan kurang tidur seperti Chairil Anwar, namun banyak juga yang berpenampilan sehat layaknya pemain basket. Begitu juga dengan para penyair wanitanya, mereka banyak yang berparas cantik, bertubuh seksi, berpakaian ketat dan berambut coklat layaknya model.

Terlepas dari masalah sejauh mana mutu puisi yang dihasilkannya, kondisi seperti ini bagi saya tetap saja ada positifnya. Puisi menjadi lebih memasyarakat dengan memasuki ruang-ruang yang sebelumnya tidak terjangkau, penerbitan buku menjadi marak dan yang lebih penting dunia kepenyairan tidak lagi dicurigai sebagai sarang pemimpi atau pengkhayal belaka. Kini banyak orang yang cara hidupnya sehat, yang pakaiannya rapi dan tubuhnya wangi juga menulis dan menyukai puisi. Menurut saya, puisi yang baik bisa muncul dari mana saja, termasuk dari kalangan yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Puisi yang baik bukan hanya milik mereka yang mengatasnamakan dirinya penyair full time namun juga mereka yang mengaku amatir. Puisi yang baik tidak selalu berhubungan dengan banyak atau sedikitnya waktu yang tersedia untuk menulis, namun sangat berhubungan dengan itensitas dan komitmen penyairnya. Toh sekalipun penyair full time tidak otomatis punya banyak waktu karena mereka bisa saja mereka disibukkan berbagai acara, memenuhi undangan sana-sini, menghadiri acara ini-itu, menyiapkan makalah, memberi ceramah atau tausyiah. Belum lagi kalau sedang jatuh cinta waktunya bisa habis hanya untuk ber-sms ria.

Para penyair terkemuka Indonesia banyak dihuni oleh mereka yang sebenarnya tidak profesional atau full time dalam menjalani dunia kepenyairannya. Ambil misalnya Sapardi Djoko Damono, Saini KM, Abdul Hadi WM dan Goenawan Mohamad untuk menyebut beberapa contoh, adalah orang-orang yang mempunyai profesi resmi dan dihidupi oleh profesinya. Sapardi, Saini dan Abdul Hadi adalah dosen (bahkan guru besar), sedang Goenawan adalah wartawan (bahkan redaktur) majalah terkenal. Meskipun mereka hidup mapan dari profesi resminya namun tetap mempunyai intensitas dan komitmen yang tinggi terhadap puisi. Yang jadi persoalan ternyata bukan bagaimana mereka mengatur waktu antara tugas dan menulis puisi, tapi yang paling utama adalah bagaimana mereka tetap memiliki intensitas dan komitmen terhadap puisi tadi. Tidak mengherankan jika kemudian mereka jauh lebih dikenal dan dihormati sebagai penyair ketimbang dosen atau wartawan.

Melati di PahakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang