Tepat pukul sepuluh malam saat mobil Raka melaju di jalanan senggang Kota Metro. Setelah seharian di perpustakaan daerah Kota Metro yang mempertemukannya kembali dengan Khalila, Raka berkumpul dengan teman-temannya sekretariat Forum Bahasa dan Sastra di bilangan Metro Selatan, sebuah organisasi perkumpulan penulis atau calon penulis dan siapapun yang memiliki minat di bidang sastra untuk mengembangkan bakatnya.
Di tempat itu, Raka merasa nyaman, ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki kesepahaman ide, hobi dan pemikiran yang sama dengannya, hal yang membuat Raka betah berlama-lama di tempat dimana sudah dua tahun belakangan ini ia menjadi anggota aktifnya.
Kini Raka dalam perjalanan pulang, menuju ke rumah yang entah mengapa satu tahun belakangan ini dirasanya sudah tidak nyaman lagi. Sebabnya, tentu saja karena ia dan ayahnya yang selalu berdebat tentang kuliah. Ayahnya selalu mudah marah bila menyangkut hal-hal tentang kuliah Raka yang tidak beres, antara lain: IPK Raka yang tidak sampai 3,00, nilai C, D apalagi E di transkip Raka, mengulang mata kuliah tertentu karena tidak adanya semester pendek, dan di tahun ke empat ini Raka belum juga sampai pada tahap penelitian untuk skripsi, hal-hal krusial dalam kuliah itu yang selalu membuat ayahnya gusar pada Raka. Ayahnya melihat Raka tidak ada usaha untuk memperbaiki kuliahnya, yang ayahnya lihat, Raka hanya pergi keluyuran tidak jelas dan membuang-buang waktunya tidak berguna. Jelas saja Raka tidak terima dengan tuduhan ayahnya tersebut, ia bukan keluyuran tidak jelas, ia tidak melakukan kegiatan negatif, ia memperjuangkan passionnya agar kelak ia bisa membuktikan kepada ayahnya bahwa,
"Inilah Raka, pa!"
"Raka seniman, pa! Raka penulis! Ini pilihan Raka!"
Jeritan-jeritan hatinya itu seakan mengiringi perjalanan pulangnya.Berputar-putar di kepalanya, seandainya ayahnya tahu bahwa Raka ingin membanggakan ayahnya dengan caranya sendiri, dengan sebuah jalan yang ia pilih sendiri.
"Buktikan , Raka! Buktikan!" Raka semakin bertekad.
***
Dua puluh menit Raka di perjalanan, sampailah ia di rumahnya. Letih mulai terasa menggerogoti tubuhnya, Raka berjalan menuju kamarnya.
"Dari mana kamu? Pergi seharian, baru pulang jam segini!" suara pria paruh baya terdengar membentaknya, itu ayahnya
"Hari ini Raka nulis seharian, menyelesaikan novel Raka, pa." ujar Raka tanpa memandang ayahnya
"Bagaimana kuliahmu? Kapan kamu lulus? Ini sudah tahun ke empat! Kamu mau jadi mahasiswa abadi di kampus?" pertanyaan dari ayahnya itu sudah bosan Raka dengar
"Raka pasti wisuda kok, pa!"
"Kapan?! Kamu itu buat novel terus! Tapi kuliah kamu, gimana? Kuliahmu itu bisa membawa kamu pada masa depan yang lebih baik! Sedangkan novel kamu? Kapan terbitnya? Belum tentu juga ada penerbit yang mau menerbitkan tulisan kamu itu! Jangan pikir papa tidak tahu, novelmu berkali-kali di tolak penerbit, kan?" suara ayahnya kini mulai meninggi.
"Udahlah pa, Raka capek!" segera Raka masuk ke dalam kamar, sedangkan ayahnya masih meracau di balik pintu kamarnya. Raka menutup telinganya dengan kedua tangannya, tak ingin dia mendengar ayahnya marah-marah.
"Kalau kamu tahun ini belum lulus juga, papa tarik semua fasilitas kamu! Papa ingin lihat, apa novel kamu itu bisa menghidupi kamu!" kata-kata itu terdengar samar namun amat jelas, kata-kata itu pun menusuk hatinya. Bakatnya tak didukung oleh ayahnya, Raka kesal, begitu pun dengan ayahnya. Kedua pria itu dalam kondisi yang tidak stabil malam itu, dipenuhi amarah, dipenuhi ego.
Samar suara langkah ayahnya menjauhi kamar Raka, Raka menarik napas dalam-dalam, ia jatuhkan tubuhnya di kasurnya, hari ini terlalu melelahkan, fisik dan pikirannya lelah sekali, belum lagi cekcoknya dengan ayahnya. Beberapa menit kemudian sempurna ia terlelap. Ia melupakan satu hal, puisi lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rakhalila
General FictionKetika orang tuanya memandang apatis segala impian Raka dan mengatur seorang Raka Wijaya menjalani hidup pragmatis.Raka ingin menjadi seorang penulis dan orang tuanya menginginkan ia menjadi seorang Pegawai Negeri seperti orang-orang umumnya karena...