Terjejer rapi deretan foto gadis pemilik kamar ini dengan seorang pria gagah berambut cepak dengan pakaian seragam polisi. Gadis itu tampak tersenyum ke arah kamera, begitupun pria di sampingnya. Mereka sepasang kekasih.
"I love you too, sayang." ujar seorang pria dengan mesra di ujung telepon. Tidak lama telepon terputus.
Gadis itu melihat weker merah berbentuk apel di kamarnya, sudah mendekati pukul sebelas malam. Gadis itu berjalan ke depan meja riasnya, meninggalkan boneka Teddy Bear besar yang di gunakannya sebagai bantal saat mengobrol di telpon dengan kekasihnya barusan. Rambut panjangnya ia ikat kebelakang, dan kini sempurna tampak wajah oval gadis cantik yang beranjak dewasa ini. Ia mengambil sebuah krim wajah dari laci meja riasnya, di oleskannya di beberapa titik di wajahnya. Kini gadis itu memandang bayang dirinya di cermin, dari cermin terlihat boneka Teddy Bear besar di atas tempat tidurnya, boneka hadiah dari sang kekasih, gadis itu selalu teringat sang kekasih saat melihat boneka beruang lucu tersebut, senyumnya selalu mengembang bila melihat boneka tersebut. Hal itu mengingatkannya saat pertama kali kekasihnya menyatakan cinta untuknya, kekasihnya membawa boneka besar itu saat menyatakan cinta pada gadis itu hampir setahun yang lalu, setelah itu kekasihnya tersebut menunggu jawaban cinta dari gadis itu sampai berbulan-bulan sampai akhirnya gadis itu menerimanya, menerima pria itu agar ia lekas lepas dari luka masa lalunya. Luka karena cinta pertamanya yang ternyata telah dimiliki orang lain.
Gadis itu Khalila, dan kekasihnya bernama Alvin, seorang siswa di Sekolah Polisi Negara Provonsi Lampung. Mereka berpacaran dengan ritme pacaran yang bisa terbilang sangat minim quality time berdua. Alvin tinggal di asrama tempatnya menuntut ilmu, hanya pulang dua hari dalam sebulan, terus begitu sampai pendidikannya selesai nanti.
Sementara Khalila, ia termasuk mahasiswa yang aktif. Selain disibukkan dengan kuliahnya, ia pun aktif di unit kegiatan seni di kampusnya, dan menjabat sebagai koordinator divisi tari, ia juga kini menjadi pelatih tari di sanggar tari tempatnya belajar menari sedari ia kecil, Sanggar Tari Srikandi.
Kesibukan pasangan kekasih ini membuat komunikasi intens mereka terjalin hanya saat mendekati tengah malam seperti sekarang, itupun paling lama hanya berlangsung selama satu jam karena ketatnya peraturan di Asrama Polisi Alvin.
Khalila kini merebahkan tubuhnya di kasur empuknya, tempat ternyaman di dunia baginya. Matanya belum langsung terpejam, ia memandang langit-langit kamarnya, membayangkan hal-hal yang telah terjadi di hidupnya, hal besar maupun hal kecil, semuanya membentuk gumpalan ingatan yang berlalu lalang secara ilusif di depan depan mata Khalila. Perlahan kantuk mulai menyergap, ingatan-ingatan tersebut semakin memudar seiring kesadaran yang semakin menghilang.
Sebesit bayangan usil melintas tanpa permisi, bagai blitz kamera yang datang begitu cepat, bagai menghantam fragmen-fragmen ingatan Khalila beberapa waktu belakangan ini, meniadakan semua dan menarik ingatan Khalila pada sebuah masa lalu. Terdengar lagi dentuman bola basket, drible, dan deru napas yang terengah, perlahan suara-suara itu menampakkan sebuah dimensi yang tidak asing bagi Khalila, lapangan basket sekolah. Khalila melihat sesosok pria berdiri di tengah lapangan basket, berdiri menatapnya, bola basketnya ia biarkan menggelinding bebas tak ia hiraukan. Khalila tercekat.
"Raka?"
Matanya terbuka lagi, kesadarannya kembali utuh, kantuknya menghilang. Terbesit kesenduan dari raut wajah Khalila setelah terbayang Raka barusan, kejadian tadi siang terbayang lagi.
Adakah yang lebih pilu selain teringat sebuah cinta yang tidak pernah sampai? Bertahun-tahun mencoba melupakan dan kini cinta itu hadir lagi, menampakkan dirinya secara utuh dan menyapanya kembali. Menyapa dengan manis, meninggalkan sebuah kesan, kesan yang mendalam, membangunkan hasrat cinta yang telah lama tertidur, dan...
KAMU SEDANG MEMBACA
Rakhalila
General FictionKetika orang tuanya memandang apatis segala impian Raka dan mengatur seorang Raka Wijaya menjalani hidup pragmatis.Raka ingin menjadi seorang penulis dan orang tuanya menginginkan ia menjadi seorang Pegawai Negeri seperti orang-orang umumnya karena...