.
.
.
.
.09.10
Angka yang tertulis di jam digital yang kupakai hari ini. Telat. Again? Keterlambatan dengan seorang Didi rupanya masih berteman baik. Aku benar-benar merutuk kebiasaan burukku. Amat tak patut untuk ditiru.
Sebenarnya aku berangkat lima belas menit lebih awal dari biasanya, tapi karena Bus TransJakarta yang aku tumpangi mengalami masalah, jadi butuh waktu untuk memindahkan penumpang dari bus satu ke bus lain.
"Pake NPWP nggak bisa, Mba?" Aku sedang mencoba menawar opsi lain karena kartu akses masuk gedung ini tertinggal di meja rias kamarku, sementara KTP-ku juga sedang di pinjam oleh kakakku untuk mengurus perpanjang motor.
Dua tahun lalu aku sengaja membeli motor untuk keperluan di rumah setelah melihat motor Bapak yang sudah terlihat usang dan tak layak karena sering mogok. Yah, walaupun aku tidak bisa memakainya.
"Nggak bisa, Bu. Maaf, harus Id Card. Kalau tidak ada KTP ya SIM." Aku mengerang kesal mendengar petugas front desk gedung ini bicara.
Menyebalkan, kenapa bisa ketinggalan sih? Didi ... Didi ...
Kalau SIM jelas aku tidak punya, bisa mengendarai motor atau mobil saja tidak. Jadi, dengan cara apa aku naik ke atas? "Tapi saya tenant di sini loh mba," aku masih berusaha memberikan penjelasan dengan muka memelas.
Petugas perempuan itu menggeleng pelan seraya tersenyum canggung. "Maaf bu, tetap tidak bisa." Menghela nafas, aku menyerah. Aku mundur dari antrian lalu menggambil handphone di saku.
Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon Dina. "Halo, assalamualaykum, Din." Sapaku langsung begitu terdengar suara Dina.
"Wa'alaykumsalam. Cuy, lo di mana? jam berapa ini, woy? Lo dicariin Mba Mona tuh! Mana meja lo masih kosong gitu lagi, pas tadi dia lewat." Dina langsung menyambut dengan rentetan pertanyaan.
Aku menarik nafas sebelum menjawab. "Di lobby, lo turun deh sekarang."
"Ngapain?" tanyanya bingung.
"Turun sekarang, kartu akses gue ketinggalan."
"Trus?" Duh, Ibu satu ini. Jelaslah, aku ingin minta tolong padanya.
"KTP gue juga nggak ada, lo turun bantuin gue masuk pake akses lo," aku berusaha menjelaskan dengan pelan, agar rasa jengkel yang mulai meradang berkurang.
"Oh, bilang dong dari tadi."
Astagfirullah, Dina, dikata dari tadi kumur-kumur kali. "Ck, udah cepet buruan turun."
"Yee, minta tolong maksa," keluhnya yang ikut kesal.
"Okey, Dina yang manis, Didi minta tolong ya, buat--" Pandanganku yang semula menatap ke arah pintu lobby kualihkan ke arah dalam gedung tepat ke arah pintu akses. Dari sana tak jauh ada deretan pintu lift yang berjejer sesuai abjad. Keningku menghenyit melihat wajah yang kukenal di sana, dia sedang berdiri tepat di depan salah satu lift dengan kemeja navy.
"Halo, Di?" Ah, aku lupa kalau masih tersambung dengan Dina. " Jadi nggak?"
Apa aku minta tolong sama orang itu aja ya? Lagipula kasian juga merepotkan Dina untuk turun. "Di?"
"Eum ... nggak jadi deh, Dina."
"Yakin?"
"Iya, thanks ya." Setelah itu aku langsung menutup telpon dengan Dina dan memutuskan untuk mendekat ke arah pintu dan memanggil nama orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay, I'm Thirty 30
ЧиклитSeharusnya hari itu Didi merasa senang, bertemu dengan teman komunitas pecinta drama dan anime jepang yang ingin ia temui, tapi malah terlibat drama berepisode dan kesialan yang beruntun dengan pria songgong dan nyinyir yang pernah ia temui