Berawal dari pertemuan kami sore itu. Kupikir semua berakhir, namun ternyata ini barulah awal. Awal dari sebuah drama.
"Kenapa?"
Widya menggeleng pelan. "Harusnya kamu senang dong, ada seseorang yang setidaknya mau merendahkan dirinya untuk mengakui kamu sebagai calon istri."
Ha?
Ini orang nyata kan? Masih napak di bumi? Ada ya yang narsis seperti ini?
Kalian harus tahu, wajah Widya itu saat bicara tadi benar-benar datar, seperti sedang membicarakan cuaca hari ini yang tidak begitu menarik, benar-benar nyeselin.
"Kamu sehat?"
"Menurut kamu sehat nggak?"
"Enggak."
Lo sakit! geramku dalam hati.
Beberapa detik kemudian Widya tertawa pelan membuat kenyitan di keningku muncul.
Gila ya nih orang? Nggak ada yang lucu padahal.
Kali ini tawanya berganti senyuman tipis dibibirnya. "Jangan kegeeran ya, saya cuma pinjam nama kamu."
"Minjam gimana maksudnya?"
"Ya, gitu, cuma asal nyebut."
"Eh, itu bukan asal nyebut aja. Secara nggak langsung, kamu udah paksa saya untuk ikut masalah kalian."
Widya mengangkat bahu acuh, "jangan terlalu berlebihan lah mikirnya." Lalu tiba-tiba seringaiannya muncul, "atau kamu memang mengharapkan itu terjadi?"
Apa-apaan sih ini orang?
"Pasti rasanya senang ya, diakui sebagai calon istri dengan orang tampan seperti saya."
Bibir terbuka sedikit, bersiap mengatakan sesuatu, tapi Widya lebih dulu memotongnya. "Tapi maaf, kamu bukan tipe saya."
"Wow!" dalam hati aku beristigfar, mencoba untuk menahan kekesalan.
"Asumsi yang luar biasa ngasal." Rasa jengkel tidak bisa kusembunyikan lagi. "Siapa juga yang mau sama orang sakit jiwa?"
Dibanding dengan tersingung karena kata-kataku, raut wajah Widya malah terlihat senang, seperti telah mendapatkan sesuatu yang menarik.
"Kalau dipikir ... Siapa yang lebih sakit jiwa, seseorang yang menghina pria tampan dan bilang dia sakit jiwa?"
Ya robbi, ini orang dari planet mana sih? Balikin please ke tempat asalnya.
"Lagipula kalau saya mau, ucapan kamu tadi saya rekam, dan saya bisa perkarakan kamu dengan pasal 311 atau 310 tentang fitnah dan penghinaan."
Wah, nggak bener nih!
Kenapa dia playing victim begini? Yang sepantasnya kesal itu aku.
Alisnya naik sebelah seraya menatapku. "Kenapa diam aja? Menyesal ya? Kalau kamu mau minta maaf sekarang, saya maafin kok."
Aku mendengus kesal. "Nggak ngaca? Nggak sadar di sini siapa yang salah?"
"Loh, salah saya di mana?" ujarnya santai.
"Salah kamu?" Aku menatapnya tajam sementara Widya menunggu dalam diam, "saya nggak suka di sangkut pautin masalah kamu. Lagian saya cuma bilang sakit jiwa."
"Nah itu, kamu ngina saya lagi."
"Tolong di dengar ya pak Widya, saya nggak nyebut secara spesifik nama orang."
"Kamu itu ada di depan saya, otomatis kata itu ditujukan untuk saya dong."
"Sebentar ... Sebentar, seharusnya yang kesal dan merasa tersingung itu saya di sini."
"Loh, memang ada kata saya yang mengina kamu?"
"Ya memang ng---"
"Coba ya diteliti lagi kata-kata saya dari awal," Widya menyela ucapanku. "Memangnya ada kata-kata saya yang menghina." Bibirnya mengukir senyum tipis, tapi bagiku seolah sedang mengejek. "Makanya ya mba, kalau mau protes itu dipikir dulu, otak yang jalan, jangan emosi yang di dulukan."
Bibirku sudah merapat menahan gemas, sementara tanganku bergerak untuk mengambil gelas berisi minuman Sania yang masih terisi setengah dan berniat menyiramkan isinya pada cowok menyebalkan di depanku. Tapi terhenti saat Sania datang tiba-tiba dan berkata. "Kalian berdua kenapa sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay, I'm Thirty 30
Literatura FemininaSeharusnya hari itu Didi merasa senang, bertemu dengan teman komunitas pecinta drama dan anime jepang yang ingin ia temui, tapi malah terlibat drama berepisode dan kesialan yang beruntun dengan pria songgong dan nyinyir yang pernah ia temui